TUGAS INDIVIDU
Disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah :
Disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah :
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
( MElURUSKAN NIAT DAN TUJUAN MENCARI ILMU )
Dosen pengampu : Drs. Nurhadi, S.Pd,M.Pd
Dosen pengampu : Drs. Nurhadi, S.Pd,M.Pd
DISUSUN OLEH :
RYAN HADI PURNOMO
RYAN HADI PURNOMO
( 13120137 )
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
IKIP PGRI SEMARANG
2013
Kata
pengantar :
BAB
I Pendahuluan
BAB
II Pembahasan
1. Pengertian
niat
2. Pengertian
menuntut ilmu
3. Dasar
hukum menuntut ilmu
4. Hadis-hadis
tentang kewajiban menuntut ilmu
5. Hukum
menuntut ilmu
6. Menuntut
ilmu sebagau ibadah
7. Pentingnya
menuntut ilmu
8. Pentingnya
mengamalkan ilmu
9. Mensyukuri
nikmat allah dengan menuntut ilmu
10. Keutamaan
menuntut ilmu
11. Penghalang
penghalang dalam menuntut ilmu
Penutup
Kata Pengantar
Segala puji hanya milik Allah SWT. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan rahmat-Nya saya mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Agama Islam.
Agama sebagai sistem kepercayaan dalam kehidupan umat manusia dapat dikaji melalui berbagai sudut pandang. Islam sebagai agama yang telah berkembang selama empat belas abad lebih menyimpan banyak masalah yang perlu diteliti, baik itu menyangkut ajaran dan pemikiran keagamaan maupun realitas sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Dalam penyusunan tugas atau materi ini, tidak sedikit hambatan yang saya hadapi. Namun dengan penuh kesabaran dan terutama pertolongan dari Allah akhirnya makalah ini dapat terselesaikan. Dan saya menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan materi ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua, sehingga kendala-kendala yang saya hadapi teratasi.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas ilmu tentang ‘meluruskan niat dan tujuan mencari Ilmu’ bagi umat manusia. Makalah ini di sajikan berdasarkan rangkuman dari hasil pengamatan yang bersumber dari berbagai informasi, referensi, buku tentang islam dan berita.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat
dan memberikan wawasan yang lebih luas. Saya sadar bahwa makalah ini masih
banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kepada
dosen pembimbing saya meminta masukannya demi
perbaikan pembuatan makalah saya di
masa yang akan datang.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam diturunkan sebagai rahmatan lil ‘alamin. Untuk itu, maka diutuslah Rasulullah SAW untuk memperbaiki manusia melalui pendidikan. Pendidikanlah yang mengantarkan manusia pada derajat yang tinggi, yaitu orang-orang yang berilmu. Ilmu yang dipandu dengan keimanan inilah yang mampu melanjutkan warisan berharga berupa ketaqwaan kepada Allah SWT. Dengan pendidikan yang baik, tentu akhlak manusia pun juga akan lebih baik. Tapi kenyataan dalam hidup ini, banyak orang yang menggunakan akal dan kepintaraannya untuk maksiat. Banyak orang yang pintar dan berpendidikan justru akhlaknya lebih buruk dibanding dengan orang yang tak pernah sekolah. Hal itu terjadi karena ketidakseimbangannya ilmu dunia dan akhirat. Ilmu pengetahuan dunia rasanya kurang kalau belum dilengkapi dengan ilmu agama atau akhirat. Orang yang berpengetahuan luas tapi tidak tersentuh ilmu agama sama sekali, maka dia akan sangat mudah terkena bujuk rayu syaitan untuk merusak bumi, bahkan merusak sesama manusia dengan berbagai tindak kejahatan. Disinilah alasan mengapa ilmu agama sangat penting dan hendaknya diajarkan sejak kecil. Kalau bisa, ilmu agama ini lebih dulu diajarkan kepada anak sebelum anak tersebut menerima ilmu dunia. Kebodohan adalah salah satu faktor yang menghalangi masuknya cahaya Islam. Oleh karena itu, manusia membutuhkan terapi agar menjadi makhluk yang mulia dan dimuliakan oleh Allah SWT
B .Tujuan
1. Memeberikan penjelasan tentang pentingnya menuntut ilmu
2. Mengetahui hadis –hadis tentang kewajiban menuntut ilmu
3. Mengetahui hukum dari menuntut ilmu
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian niat
Niat
pada asalnya mempunyai arti kehendak (al-qasdu). Kemudian niat pada
umumnya diartikan sebagai keinginan (al-‘azm) hati terhadap sesuatu .
Menurut al-Ghazali antara lafaz niat (niyyah), iradah dan qashd
mempunyai makna yang sama. Ia diartikan sebagai kehendak dan dorongan hati
dengan keinginan yang kuat untuk melakukan sesuatu yang sesuai dengan tujuan
yang bersifat seketika atau tujuan yang akan terjadi di lain waktu .
Setiap pekerjaan yang bersifat
ikhtiar, tidak akan terwujud kecuali dengan adanya pengetahuan, niat dan
kemampuan. Sebuah pekerjaan tidak akan dikehendaki seseorang jika ia tidak
mengetahuinya. Pekerjaan yang diketahui tidak akan pernah terwujud sempurna
jika tidak ada niat. Dan pekerjaan yang sudah diketahui dan dikehendaki tidak
akan terwujud tanpa adanya kemampuan .
Oleh sebab itu adanya niat adalah
sebuah keharusan bagi sebuah pekerjaan, sebab ia adalah pondasi bagi semua
pekerjaan, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
إِنَّمَا
اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَاتِ (رواه البخاري ومسلم وغيرهما)
Artinya: “Sesungguhnya
pekerjaan-pekerjaan itu tergantung pada niat-niatnya” (HR. Al-Bukhari, Muslim dan lain-lain)
Niat adalah tempat bagi perhatian
Allah SWT. Dia menggantungkan kebijakanNya untuk menerima, menolak, dan memberi
pahala atau siksa bagi pekerjaan seorang hamba kepada niatnya. Maka sebuah
pekerjaan akan dinilai baik karena adanya niat yang baik, meskipun menurut
pandangan lahir, pekerjaan tersebut tampak buruk. Sebaliknya, pekerjaan akan
dinilai buruk, meskipun tampak baik, akibat niat yang buruk.
Niat juga dapat memperbesar atau
memperkecil nilai pekerjaan. Ia juga dapat merubah pekerjaan mubah
menjadi sunah, bahkan wajib dan merubah pekerjaan maksiat menjadi pekerjaan
taat. Para ulama salaf menegaskan hal ini, berdasarkan sabda Rasulullah SAW:
نِيَّةُ
الْمُؤْمِنِ خَيْرٌ مِنْ عَمَلِهِ (رواه الطبرني)
Artinya:“Niat seorang yang
beriman lebih baik dari pada perbuatannya” (HR. Thabrani)
Allah akan memberi pertolongan
kepada hambaNya untuk menyelesaikan pekerjaan, sesuai kadar niat dihatinya.
Diberitakan oleh Allah dalam al-Qur’an bahwa dua orang wakil suami isteri yang
sedang berselisih, jika mereka mempunyai niat yang baik berupa keinginan untuk
menyatukan kembali kehidupan rumah tangga keduanya, maka Allah akan membantu.
Dia berfirman:
إِنْ يُرِيدَا
إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا
(النساء: 35)
Artinya: “Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada
suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS. An-Nisa’: 35)
Niat sendiri adalah pekerjaan yang
baik. Dengan niat yang baik saja, seseorang akan mendapatkan pahala, meskipun
tidak terwujud kepada sebuah pekerjaan yang baik karena beberapa alasan. Dari
sini As-Suyuthi memberikan pernyataan bahwa ketika seseorang berniat melakukan
shalat berjamaah, manun ia tidak bisa melakukannya karena udzur, maka ia akan
tetap mendapatkan pahala .
Sebagaimana diketahui, menuntut ilmu
adalah pekerjaan yang paling baik, mulia dan utama. Al-Quran dan sunnah, serta
pendapat para pakar didukung dengan pembuktian dari segala aspek, telah
memberikan kesaksian akan hal ini. Akan tetapi, kebaikan, kemuliaan dan
keutamaan tersebut tidak akan pernah ada, jika dilakukan dengan niat yang tidak
benar. Bahkan, menuntut ilmu menjadi pekerjaan sia-sia, menghabiskan waktu,
tenaga dan harta benda. Lebih parah lagi, menuntut ilmu malah menjadi sarana
munculnya malapetaka bagi kehancuran diri, agama dan negara.
Menurut Al-Ghazali dalam Ihyâ’ ‘Ulûm
al-Dîn, menuntut ilmu harus bertujuan untuk menghias dan mempercantik hati
dengan sifat-sifat keutamaan, dan selanjutnya mengupayakan kedekatan diri
kepada Allah, dan naik pada kelas yang dihuni oleh golongan tertinggi yang
terdiri dari para malaikat dan orang-orang yang didekatkan kepada Allah .
Az-Zarnuji merumuskan bahwa niat dan
tujuan menuntut ilmu adalah untuk mendapat ridlo Allah dan kebahagiaan akhirat,
menghilangkan kebodohan dari diri sendiri dan orang lain, dan menghidupkan
agama dan melestarikan Islam .
2.
Pengertian Ilmu dan Menuntut Ilmu
A. Pengertian
Ilmu
“Secara bahasa pengertian ilmu adalah lawan kata bodoh/Jahil, sedang secara
istilah berarti sesuatu yang dengannya akan tersingkaplah segala hakikat yang
secara sempurna. Secara istilah Syar’i pengertian ilmu yaitu, ilmu yang sesuai
dengan amal, baik amalan hati, lisan maupun anggota badan dan sesuai dengan petunjuk
Rasulullah Saw.”
Ibnu Munir berkata : “Ilmu adalah
syarat benarnya perkataan dan perbuatan, keduanya tidak akan bernilai kecuali
dengan ilmu, maka ilmu harus ada sebelum perkataan dan perbuatan, karena ilmu
merupakan pembenar niat, sedangkan amal tidak akan di terima kecuali dengan
niat yang benar.”
Dalam pengertian lain “Ilmu itu
modal, tak punya ilmu keuntungan apa yang bisa didapat, ilmu adalah kunci untuk
membuka pintu kebaikan kesuksesan, kunci untuk menjawab pertanyaan dan masalah
di dunia . . .”
Berdasarkan beberapa definisi
tentang pengertian ilmu di atas dapat disimpulkan bahwa, ilmu merupakan sesuatu
yang penting bagi kehidupan manusia karena dengan ilmu semua keperluan dan
kebutuhan manusia bisa terpenuhi secara lebih cepat dan lebih mudah baik secara
lisan (perkataan), maupun berupa perbuatan (anggota badan), tanpa ilmu
kesuksesan tak pernah ketemu karena ilmu merupakan bagian terpenting dalam
kehidupan seperti kebutuhan manusia akan oksigen untuk bernapas.
B. Pengertian
Menuntut Ilmu
“Menuntut ilmu adalah suatu usaha yang dilakukan oleh seseorang untuk merubah
tingkah laku dan perilaku ke arah yang lebih baik,karena pada dasarnya ilmu
menunjukkan jalan menuju kebenaran dan meninggalkan kebodohan.”
Menuntut ilmu merupakan ibadah
sebagaiman sabda Nabi Muhammad Saw.
Artinya :
“Menuntut Ilmu diwajibkan atas orang
islam laki-laki dan perempuan”
Mu’adz bin Jabbal berkata :
“Tuntutlah ilmu, karena mempelajari ilmu karena mengharapkan wajah Allah itu
mencerminkan rasa Khasyyah, mencarinya adalah ibadah, mengkajinya adalah
tasbih, menuntutnya adalah Jihad, mengajarnya untuk keluarga adalah Taqarrub.”
Dengan demikian perintah menuntut
ilmu tidak di bedakan antara laki-laki dan perempuan. Hal yang paling di
harapkan dari menuntut ilmu ialah terjadinya perubahan pada diri individu ke
arah yang lebih baik yaitu perubahan tingkah laku, sikap dan perubahan aspek
lain yang ada pada setiap individu.
3. Dasar Hukum Menuntut Ilmu
3.1. Dasar hukum menuntut ilmu yang
pertama yaitu dari hadits Rasullulah SAW,
Yang berbunyi :”Menuntut ilmu itu
hukumnya wajib bagi setiap muslim, waktunya adalah dari buaian ibu (bayi),
sampai masuk liang kubur”. Hadits dari Rasul SAW yang sangat jelas sekali
perintahnya, bahwa dalam Islam menuntut ilmu hukumnya adalah WAJIB yang
artinya adalah, jika dikerjakan dan dilaksanakan kita akan mendapat PAHALA,
jika diabaikan, disepelekan/tidak dilaksanakan kita akan mendapat DOSA.
Jadi permasalahan yang mendesak sekarang adalah, jika kita mengaku sebagai
seorang Muslim, marilah mumpung kita masih diberi kesempatan hidup oleh ALLAH
SWT, segeralah dan jangan ditunda-tunda lagi untuk menuntut ilmu agama Islam
yang benar, benar dalam artian yang sesuai dengan Al-qur`an dan Hadits Shahih
dari Rasullulah SAW, agar kita memperoleh petunjuk dan kebenaran dalam Islam
yang diturunkan oleh ALLAH SWT melalui Rasulnya Muhammad SAW, sehingga kita
dasar dalam beragama Islam tidak hanya menduga-duga atau berprasangka saja.
Kita boleh berhenti menuntut ilmu, hanya jika kita sudah masuk liang kubur /
MATI, jika kita sudah mati sudah tidak ada kewajiban lagi untuk menuntut ilmu.
Jadi jika kita masih hidup, alangkah ironi dan naïf nya , jika kita mengaku
sebagai seorang Muslim, tapi giliran ada yang mengajak untuk menuntut ilmu
agama Islam tentang hukum-hukum ALLAH lewat kajian Al-qur`an dan Hadits Shahih
merasa enggan dan berat sekali, dan banyak sekali alasan-alasan yang
dilontarkan, seakan-akan mau hidup selamanya,..Subhanallah,..sebelum terlambat
marilah koreksi diri kita dan tanyakan dalam hati kita, jika kita sudah tahu
bahwa menuntut ilmu dalam Islam hukumnya adalah wajib, dan ketika ada
kesempatan dan ada orang yang mengajak untuk menuntut ilmu, kemudian kita
menunda-nundanya bahkan menolaknya, sekarang pertanyaan besarnya adalah, “Masihkah
pantaskah kita dihadapan ALLAH SWT, disebut sebagai seorang Muslim…
3.2. Dasar hukum menuntut ilmu yang
kedua adalah dalam Surat Al-Ashr,
yang berbunyi sbb : "Demi masa.
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal shaleh dan nasehat menasehati Supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran". Ingatlah ALLAH SWT telah bersumpah dalam surat ini dengan
masa / waktu yang didalamnya terjadi peristiwa yang baik dan yang buruk,
bersumpah bahwa setiap manusia didunia ini, baik itu orang Islam atau di luar
Islam pasti akan mengalami kerugian, kecuali yang memiliki 4 (empat hal) yaitu
: 1. Iman, 2. Amal Shaleh, 3. Saling menasehati supaya mentaati kebenaran,
4. Saling menasehati supaya menetapi kesabaran.
Melihat empat hal diatas, jika kita sebagai seorang Muslim mau beruntung dan terlepas dari kerugian, maka mau tidak mau, suka atau tidak suka kita harus :
Melihat empat hal diatas, jika kita sebagai seorang Muslim mau beruntung dan terlepas dari kerugian, maka mau tidak mau, suka atau tidak suka kita harus :
Agar mempunyai Iman, maka kita harus :
Memaksanya untuk bersungguh sungguh,
mempelajari agama Islam yang benar dengan jalan menuntut ilmu dimana kita tidak
akan memperoleh kebahagiaan didunia maupun akhirat kecuali dengan petunjuk
agama Islam yang benar, karena Iman hanya bisa kita capai dengan belajar dan
menuntut ilmu.
Memaksanya untuk bersungguh sungguh
mengamalkannya untuk diri kita dalam kehidupan sehari-hari& setelah kita
mengetahui ilmu yang kita pelajari.
Memaksanya untuk bersungguh-sungguh
mendakwahkan dan menyampaikan serta mengajarkan kepada yang belum mengetahuinya
(walaupun Cuma satu ayat), dan janganlah kita takut jika ada rintangan seperti
ditolak, dimusuhi dan lain sebagainya, karena perintah yang keempat
adalah,
Memaksanya untuk bersungguh-sungguh
bersabar terhadap kesukaran dan gangguan manusia dalam menyampaikan hukum-hukum
ALLAH lewat Al-qur`an, dan hanya mengharap Ridho ALLAH SWT saja.
Jadi jika seseorang yang mempunyai
akal dan pikiran yang cerdas dan sensitive, mendengar atau membaca surat
Al-Ashr` ini, pasti akan berusaha untuk menyelamatkan diri dari kerugian,
dengan berusaha memiliki dan melaksanakan ke empat tahapan yang diperintahkan
dalam Surat Al-Ashr`.
Tunggu apa lagi, selagi kita masih
diberi kesempatan hidup, segeralah dan jangan ditunda-tunda lagi, untuk
menuntut ilmu agar jika kita mati, tidak dalam golongan orang yang mengalami
kerugian. Alangkah sayangnya jika kematian telah mendatangi kita, kita masih belum
menjalankan satu pun tahapan dalam surat Al-Ashr, apakah kita mau jika kelak di
alam kubur / barzah keadaannya gelap gulita, padahal disanalah kita menunggu
entah berapa juta tahun lagi, hari kebangkitan seperti yang dijanjikan ALLAH,
Marilah sebelum malaikat maut benar-benar menghampiri kita, laksanakanlah dulu
perintah ALLAH yang pertama dalam Surat Al-Ashr`, yaitu belajar untuk menuntut
ilmu agama Islam yang benar, benar artinya sesuai dengan Al-qur`an dan Sunnah
atau Hadits shahih dari Rasullulah SAW, karena seperti kata pepatah, kesempatan
baik itu jarang sekali yang datang dua kali, dan semoga kelak jika kita mati,
akan termasuk dalam golongan orang-orang Muslim yang beruntung.
4.
Hadis-Hadis tentang Kewajiban Menuntut Ilmu
Niscaya
Allah akan meninggikan beberapa derajat orang-orang yang beriman diantaramu dan
orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat (Qur’an Al mujadalah
11)
Menuntut ilmu wajib
atas tiap muslim (baik muslimin maupun muslimah). (HR. Ibnu Majah)
Seseorang yang keluar
dari rumahnya untuk menuntut ilmu niscaya Allah akan mudahkan baginya jalan
menuju Syurga (Shahih Al jami)
Barang siapa berjalan
untuk menuntut ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan ke syorga. (HR.
Muslim).
“Barangsiapa melalui
suatu jalan untuk mencari suatu pengetahuan (agama), Allah akan memudahkan
baginya jalan menuju surga.”(Bukhari)
Siapa yang keluar
untuk menuntut ilmu maka dia berada di jalan Alloh sampai dia kembali (Shahih
Tirmidzi)
Tuntutlah ilmu dan
belajarlah (untuk ilmu) ketenangan dan kehormatan diri, dan bersikaplah rendah
hati kepada orang yang mengajar kamu. (HR. Ath-Thabrani)
Sebaik-baik kalian
adalah orang yang belajar Qur’an dan yang mengajarkannya (HR bukhari )
Kelebihan seorang alim
(ilmuwan) terhadap seorang ‘abid (ahli ibadah) ibarat bulan purnama terhadap
seluruh bintang. (HR. Abu Dawud )
Siapa yang Alloh
kehendaki menjadi baik maka Alloh akan memberikannya pemahaman terhadap Agama
(Sahih Ibnu Majah)
Abdullah bin Mas’ud
berkata, “Nabi saw bersabda, Tidak boleh iri hati kecuali pada dua hal, yaitu
seorang laki-laki yang diberi harta oleh Allah lalu harta itu dikuasakan
penggunaannya dalam kebenaran, dan seorang laki-laki diberi hikmah oleh Allah
di mana ia memutuskan perkara dan mengajar dengannya.(Bukhari)
Termasuk mengagungkan
Allah ialah menghormati (memuliakan) ilmu, para ulama, orang tua yang muslim
dan para pengemban Al Qur’an dan ahlinya, serta penguasa yang adil. (HR. Abu
Dawud dan Aththusi)
Janganlah kalian
menuntut ilmu untuk membanggakannya terhadap para ulama dan untuk diperdebatkan
di kalangan orang-orang bodoh dan buruk perangainya. Jangan pula menuntut ilmu
untuk penampilan dalam majelis (pertemuan atau rapat) dan untuk menarik
perhatian orang-orang kepadamu. Barangsiapa seperti itu maka baginya neraka …
neraka. (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Barangsiapa ditanya
tentang suatu ilmu lalu dirahasiakannya maka dia akan datang pada hari kiamat
dengan kendali (di mulutnya) dari api neraka. (HR. Abu Dawud)
Orang yang paling
pedih siksaannya pada hari kiamat ialah seorang alim yang Allah menjadikan
ilmunya tidak bermanfaat. (HR. Al-Baihaqi)
Sesungguhnya Allah
tidak menahan ilmu dari manusia dengan cara merenggut tetapi dengan mewafatkan
para ulama sehingga tidak lagi tersisa seorang alim. Dengan demikian
orang-orang mengangkat pemimpin-pemimpin yang dungu lalu ditanya dan dia
memberi fatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan.
(Mutafaq’alaih)
Saling berlakulah
jujur dalam ilmu dan jangan saling merahasiakannya. Sesungguhnya berkhianat
dalam ilmu pengetahuan lebih berat hukumannya daripada berkhianat dalam harta.
(HR. Abu Na’im)
Sedikit ilmu lebih
baik dari banyak ibadah. Cukup bagi seorang pengetahuan fiqihnya jika dia mampu
beribadah kepada Allah (dengan baik) dan cukup bodoh bila seorang merasa bangga
(ujub) dengan pendapatnya sendiri. (HR. Ath-Thabrani)
اطْلُبُوْا الْعِلْمَ وَلَوْ
بِالصِّيْنِ
5.
Hukum Menuntut Ilmu
Diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Anas bin Malik dari Nabi saw
bersabda,”Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.”
Ilmu bisa kita dibagi menjadi dua macam :
Ilmu bisa kita dibagi menjadi dua macam :
5.1. Ilmu-ilmu yar’i
Menuntut ilmu-ilmu syar’i ini merupakan sebuah tuntutan akan tetapi hukum menuntutnya disesuaikan dengan kebutuhan terhadap ilmu tersebut. Ada dari ilmu-ilmu itu yang menuntutnya adalah fardhu ‘ain, artinya bahwa seseorang mukallaf (terbebani kewajiban) tidak dapat menunaikan kewajiban terhadap dirinya kecuali dengan ilmu tersebut, seperti cara berwudhu, shalat dan sebagainya, berdasarkan hadits,”Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” Nawawi mengatakan,”Meskipun hadits ini tidak kukuh namun maknanya benar.”
Menuntut ilmu-ilmu itu tidaklah wajib kecuali setelah ada kewajiban tersebut (terhadap dirinya, pen)... Diwajibkan terhadap setiap orang yang ingin melakukan jual beli untuk belajar tentang hukum-hukum jual beli, sebagaimana diwajibkan untuk mengetahui hal-hal yang dihalalkan maupun diharamkan baik berupa makanan, minuman, pakaian atau lainnya secara umum. Demikian pula tentang hukum-hukum menggauli para istri apabila dirinya memiliki istri.
Adapun tentang kewajiban yang segera maka mempelajari ilmu tentangnya juga harus segera. Begitu juga dengan kewajiban yang tidak segera, seperti : haji maka mempelajari tentangnya juga bisa tidak disegerakan, menurut orang-orang yang berpendapat seperti itu.
Dari ilmu-ilmu syar’i itu ada yang menuntutnya adalah fardhu kifayah, yaitu ilmu-ilmu yang mesti dimiliki oleh manusia dalam menegakan agama mereka, seperti menghafal al Qur’an, hadits-hadits, ilmu tentang keduanya, ushul, fiqih, nahwu, bahasa, mengetahui tentang para perawi hadits, ijma’, perbedaan pendapat ulama…
Ada pula ilmu-ilmu syar’i yang menuntutnya adalah disunnahkan, seperti mendalami tentang pokok-pokok dalil, menekuninya dengan segenap kemampuannya yang dengannya bisa menyampaikannya kepada fardhu kifayah.
5.2. Ilmu-ilmu yang bukan Syar’i
Sedangkan hukum menuntut ilmu-ilmu yang bukan syar’i maka ada yang fardu kifayah, seperti ilmu-ilmu yang dibutuhkan untuk mendukung urusan-urusan dunia, seperti ilmu kedokteran karena ilmu ini menjadi sesuatu yang penting untuk memelihara tubuh, atau ilmu hitung karena ini menjadi sesuatu yang penting didalam muamalah (jual beli), pembagian wasiat, harta waris dan lainnya. Ada juga yang menunututnya menjadi sebuah keutamaan, seperti mendalami tentang ilmu hitung, kedokteran dan lainnya, Namun untuk melakukan ini tentunya membutuhkan kekuatan dan kemampuan ekstra. Ada juga yang menuntutnya diharamkan, seperti menuntut ilmu sihir, sulap, ramalan dan segala ilmu yang membangkitkan keragu-raguan. Ilmu-ilmu ini pun berbeda-beda dalam tingkat keharamannya. (al Mausu’ah al Fiqhiyah juz II hal 10370 – 10371)
Adapun untuk mendapatkan ilmu itu sendiri yang paling utama adalah mendatanginya, sebagaimana riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairoh bahwa Rasulullah saw bersabda,”… Barangsiapa yang melalui suatu jalan untuk mendapatkan ilmu maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surgea.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dari Abu Hurairoh dan dia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.
Hadits ini menunjukkan bahwa dianjurkan bagi seseorang untuk keluar dari rumahnya mendatangi majlis-majlis ilmu walaupun dirinya harus melakukan perjalanan yang jauh seperti kisah Nabi Musa dengan Khaidir. (Baca : Majelis Ilmu dan Jalan Ke Surga)
Hal lain yang perlu diketahui oleh para penuntut ilmu ini adalah meyakini bahwa orang-orang yang menjadi sumber ilmunya (guru) itu adalah orang-orang yang shaleh, bertanggung jawab terhadap ilmunya, memiliki prilaku yang baik, amanah, jujur, mengamalkan ilmunya.
Adapun cara untuk mendapatkan ilmu bisa dengan mendatangi sumber ilmu secara langsung di majlisnya atau bisa juga dengan mencari atau memperdalamnya melalui sarana-sarana media yang sangat mudah didapat saat ini, baik cetak maupun elektronik. Setelah itu hendaklah dirinya melakukan penelaahan terhadap setiap ilmu / pengetahuan yang didapatnya untuk diterima atau ditolak. Karena setiap pendapat atau perkataan seseorang bisa diterima atau ditolak kecuali pendapat Rasulullah saw. Akan tetapi jika telah jelas kebenarannya maka tidak boleh baginya untuk berpaling darinya karena pada dasarnyan kebenaran itu berasal dari Allah swt.
Apabila kita memperhatikan isi Al-Quran dan Al-Hadist, maka terdapatlah
beberapa suruhan yang mewajibkan bagi setiap muslim baik laki-laki maupun
perempuan, untuk menuntut ilmu, agar mereka tergolong menjadi umat yang cerdas,
jauh dari kabut kejahilan dan kebodohan. Menuntut ilmu artinya berusaha
menghasilkan segala ilmu, baik dengan jalan menanya, melihat atau mendengar.
Perintah kewajiban menuntut ilmu terdapat dalam hadist Nabi Muhammad saw :
Artinya : "Menuntut ilmu adalah fardhu bagi tiap-tiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan". (HR. Ibn Abdulbari).
Dari hadist ini kita memperoleh pengertian, bahwa Islam mewajibkan pemeluknya agar menjadi orang yang berilmu, berpengetahuan, mengetahui segala kemashlahatan dan jalan kemanfaatan; menyelami hakikat alam, dapat meninjau dan menganalisa segala pengalaman yang didapati oleh umat yang lalu, baik yang berhubungan dangan 'aqaid dan ibadat, baik yang berhubungan dengan soal-soal keduniaan dan segala kebutuhan hidup.
Nabi Muhammad saw.bersabda
: مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
Artinya : "Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya ; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) diakhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang meginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula". (HR.Bukhari dan Muslim)
Artinya : "Menuntut ilmu adalah fardhu bagi tiap-tiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan". (HR. Ibn Abdulbari).
Dari hadist ini kita memperoleh pengertian, bahwa Islam mewajibkan pemeluknya agar menjadi orang yang berilmu, berpengetahuan, mengetahui segala kemashlahatan dan jalan kemanfaatan; menyelami hakikat alam, dapat meninjau dan menganalisa segala pengalaman yang didapati oleh umat yang lalu, baik yang berhubungan dangan 'aqaid dan ibadat, baik yang berhubungan dengan soal-soal keduniaan dan segala kebutuhan hidup.
Nabi Muhammad saw.bersabda
: مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَ الأَخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ, وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ
Artinya : "Barang siapa menginginkan soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya ; dan barang siapa yang ingin (selamat dan berbahagia) diakhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang meginginkan kedua-duanya, wajiblah ia memiliki ilmu kedua-duanya pula". (HR.Bukhari dan Muslim)
Oleh karena itu, ilmu-ilmu seperti ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu bahasa 'arab,
ilmu sains seperti perubatan, kejuruteraan, ilmu perundangan dan sebagainya
adalah termasuk dalam ilmu yg tidak diwajibkan untuk dituntuti tetapi tidaklah
dikatakan tidak perlu kerana ia adalah daripada ilmu fardhu kifayah. Begitu
juga dengan ilmu berkaitan tarekat ia adalah sunat dipelajari tetapi perlu
difahami bahawa yg paling aula (utama) ialah mempelajari ilmu fardhu 'ain
terlebih dahulu. Tidak mempelajari ilmu fardhu 'ain adalah suatu dosa kerana ia
adalah perkara yg wajib bagi kita untuk dilaksanakan dan mempelajari ilmu
selainnya tiadalah menjadi dosa jika tidak dituntuti, walau bagaimanapun
mempelajarinya amat digalakka Ilmu yang diamalkan sesuai dengan
perintah-perintah syara'. Hukum wajibnya perintah menuntut ilmu itu adakalanya
wajib 'ain dan adakalnya wajib kifayah. Sedang ilmu yang wajib kifayah hukum
mempelajarinya, ialah ilmu-ilmu yang hanya menjadi pelengkap, misalnya ilmu
tafsir, ilmu hadist dan sebagainya. Ilmu yang wajib 'ain dipelajari oleh mukallaf
yaitu yang perlu diketahui untuk meluruskan 'aqidah yang wajib dipercayai oleh
seluruh muslimin, dan yang perlu di ketahui untuk melaksanakan
pekerjaan-pekerjaan yang difardhukan atasnya, seperti shalat, puasa, zakat dan
haji.
6. Menuntut Ilmu Sebagai Ibadah
ILMU merupakan ibadah. Sebagian ulama bahkan mengatakan: Ilmu adalah shalat yang tersembunyi dan ibadah hati. (Hilyah Thalibul Ilm hal. 9)
Maka tentunya dibutuhkan keikhlasan
dalam menuntutnya, yakni benar-benar karena Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan
karena kepentingan dunia. Allah berfirman:
"Dan mereka tidak diperintahkan
kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama
kepada-Nya." (Al Bayyinah: 5)
Nabi juga bersabda:
"Barangsiapa mempelajari ilmu
yang diharapkan dengannya wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala (ilmu syariat -pent),
ia tidak mempelajarinya kecuali untuk mendapatkan bagian dari dunia, maka ia
tidak akan mendapatkan bau surga pada hari kiamat." (Shahih, HR. Ahmad,
Abu Dawud, Hakim, dan Baihaqi. Lihat Shahihul Jami’: 6159)
Juga hendaknya ia berniat
menghilangkan kebodohan dari dirinya, karena bodoh itu sifat tercela
lebih-lebih menurut agama. Oleh karenanya, Nabi Musa ‘alaihis salam berlindung
kepada Allah dari kebodohan, katanya:
"Ya Allah sungguh aku berlindung
kepada-Mu agar tidak termasuk orang-orang yang bodoh." (Al Baqarah: 67)
Demikian pula Nabi Yusuf ‘alaihis
salam berlindung kepada Allah dari kebodohan. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga
menasehatkan hal ini kepada Nabi Nuh ‘alaihis salam:
"… Sesungguhnya Aku
memperingatkanmu supaya kamu jangan termasuk orang-orang yang tidak
berpengetahuan." (Hud: 46)
Sebaliknya, ilmu syariat adalah
sesuatu yang terpuji dan dianjurkan. Maka tentu saja, niat untuk berilmu dan
menghindari kebodohan adalah niat yang baik.
Imam Ahmad rahimahullah pernah
ditanya oleh muridnya yang bernama Al Muhanna. Katanya: Apakah amalan yang
terbaik? Jawab Imam Ahmad: Menuntut ilmu. Kukatakan: Buat siapa keutamaan ini?
Jawabnya: Bagi yang niatnya benar. Kukatakan: Bagaimana niat yang benar?
Jawabnya: Berniat untuk bertawadhu’ padanya dan untuk
menghilangkan kebodohan dari dirinya. Dalam riwayat lain: Juga dari umatnya. (Adab Syar’iyyah 2:38 dan Kitabul Ilmi-Ibnu Utsaimin hal. 27)
menghilangkan kebodohan dari dirinya. Dalam riwayat lain: Juga dari umatnya. (Adab Syar’iyyah 2:38 dan Kitabul Ilmi-Ibnu Utsaimin hal. 27)
Termasuk niat yang baik adalah
membela syariat. Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah menjelaskan, hendaknya
penuntut ilmu berniat mencari ilmu untuk membela syariat. Karena, membela
syariat tidak mungkin dilakukan kecuali oleh para pembawa syariat itu. Ilmu itu
persis seperti senjata, …dan sesungguhnya bid’ah yang baru akan terus muncul
sehingga terkadang sebuah bid’ah tidak muncul di jaman terdahulu dan tidak
terdapat dalam buku-buku. Sehingga, tidak mungkin membela syariat ini kecuali
seorang penuntut ilmu. (Kitabul Ilmi-Ibnu Utsaimin:28)
Cara untuk mendapat
hidayah dan mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah dengan menuntut
ilmu syar’i. Menuntut ilmu sebagai jalan yang lurus (ash shirathal mustaqim),
untuk memahami antara yang haq dan bathil, yang bermanfaat dengan yang mudaharat
(membahayakan), yang dapat mendatangkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seorang muslim tidaklah
cukup hanya menyatakan ke-Islamannya, tanpa memahami Islam dan mengamalkannya.
Pernyataannya itu harus dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam.
Untuk itu, menuntut ilmu
merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi. Seorang muslim diwajibkan untuk
menuntut ilmu syar’i. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa salam bersabda :
طَلَبُ الْعِلْمِ
فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (رواه ابن ماجه 224 عن أنس بن مالك t )
Menuntut ilmu itu wajib
atas setiap muslim. (HR Ibnu Majah No. 224
dari shahabat Anas bin Malik t, lihat Shahih Jamiush Shagir, no. 3913)2
7. Pentingnya Menuntut Ilmu
Sesungguhnya ilmu adalah cahaya dan petunjuk sedangkan
kebodohan adalah kegelapan dan kesesatan. Pelajarilah apa yg telah Allah
turunkan kepada rasul-Nya yaitu Alquran. Belajarlah dari para ulama krn ulama
sesungguhnya adl pewaris para nabi. Sedangkan para nabi tidak mewariskan harta
benda dinar ataupun dirham. Mereka hanya mewariskan ilmu maka barangsiapa yg
berpegangan kepadanya berarti ia telah mendapatkan bagian yg banyak dari
warisan mereka. Tuntutlah ilmu krn ia merupakan kemuliaan di dunia dan akhirat
dan pahala yg terus-menerus sampai hari kiamat. Allah Ta’ala berfirman dalam
surah Al-Mujaadalah ayat 11yang artinya “Niscaya Allah akan meninggikan
derajat orang-orang yg beriman di antara kamu dan orang-orang yg diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yg kamu kerjakan.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan bahwa salah satu dari amalan
yg tidak akan putus pahalanya dari seorang muslim yg telah meninggal sekalipun
adl ilmu yg bermanfaat.
Kaum Muslimin rahimakumullah! Lihatlah peninggalan para ulama yg tak terhingga
sampai saat ini masih ada di hadapan kita sepanjang bulan sepanjang tahun.
Peninggalan mereka dipuji jalan mereka dituruti nama mereka ditinggikan dan
usaha mereka disyukuri. Jika mereka disebut dalam majlis-majlis orang-orang
berdoa dan mengharapkan rahmat Allah utk mereka. Jika disebutkan amal kebajikan
dan adab yg tinggi maka ketahuilah merekalah panutan manusia dalam hal itu. Islam
tidak membiarkan umatnya dalam kebodohan apa pun bentuknya. Islam justru
menuntut umatnya utk menjadi umat yg melandaskan segala pikiran perbuatan dan
tindak tanduknya di muka bumi ini dgn ilmu. Jadi adalah hal yg tak terbantahkan
kewajibannya menuntut ilmu bagi seorang muslim. Orang yg berbuat tanpa ilmu
pasti tersesat dan bahkan bisa menyesatkan.
Tidaklah mungkin akan sama antara orang yg berilmu dgn orang yg tidak berilmu.
Tidak mungkin sama orang yg berjalan digelapan dgn cahaya di tangannya sebagai
penerang jalan dgn orang yg berjalan di kegelapan tanpa cahaya menerangi
jalannya. Renungkanlah sejenak firman Allah berikut yg artinya “Dan apakah
orang yg telah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya
cahaya yg terang dengannya ia dapat berjalan di tengah-tengah manusia serupa
dgn orang yg berada dalam gelap gulita dan sama sekali tidak dapat keluar
darinya?Demikianlah orang-orang kafir itu dijadikan memandang baik apa yg telah
mereka kerjakan.”Kebodohan akan membuat orang yg memilikinya memandang baik
segala yg diperbuatnya. Itu karena ia tidak memiliki ilmu yg dapat membedakan
baik dan buruknya sesuatu.
Ilmu amatlah luas, jika di pelajari tidak akan pernah selesai, selama bumi
masih berputar, selama hayat di kandung badan selama itu pula manusia
memerlukan ilmu pengetahuan islam tidak hanya cukup pada perintah menuntut
ilmu, tetapi menghendaki agar seseorang itu terus menerus melakukan belajar,
karena manusia hidup di dunia ini perlu senantiasa menyesuaikan dengan alam dan
perkembangan zaman. Jika manusia berhenti belajar sementara zaman terus
berkembang maka manusia akan tertinggal oleh zaman sehingga tidak dapat hidup
layak sesuai dengan tuntutan zaman, terutama pada zaman sekarang ini, zaman
yang di sebut dengan era globalisasi, orang di tuntut untuk memiliki bekal yang
cukup banyak, berupa ilmu pengetahuan. Bahkan kalau perlu menuntut ilmu di
lakukan tidak hanya di tempat yang dekat tetapi kalau perlu harus mengembara
untuk menuntut ilmu di tempat yang jauh. Sebagaimana sabda Rosull :
“Makin tinggi seseorang
menuntut ilmu, makin tinggi pula nilai ilmu yang ia miliki, makin tinggi ilmu
seseorang makin banyak kesempatan bagi orang tersebut untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya.”
Peranan ilmu pengetahuan dalam
kehidupan seseorang sangat besar, dengan ilmu pengetahuan, derajat manusia akan
berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Seperti firman Allah dalam Surat
Al-Mujaadilah ayat ; 11
“Allah akan meninggikan
orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Segala jenis pekerjaan yang
dilakukan selalu memerlukan ilmu pengetahuan, dalam kehidupan sehari-hari
misalnya, dapat dilihat bahwa pada umumnya orang yang memiliki ilmu pengetahuan
yang tinggi, taraf kehidupannya lebih baik dari pada orang yang tidak memiliki
ilmu pengetahuan atau orang ilmu pengetahuannya rendah, baik ilmu agama maupun
ilmu umum biasanya tidak mengalami kesulitan dalam memenuhi atau menyediakan
kebutuhan hidup sehari-hari, misalnya untuk makan, pakaian, obat-obatan dan
tempat tinggal.
Satu hal yang lebih penting lagi,
bahwa orang yang berilmu memiliki pendirian yang teguh, tidak mudah
terombang-ambing tidak mudah tergoda oleh bujukan syetan. Sebagaimana sabda
Rasulullah Saw.
Artinya :“Seseorang yang alim lebih
sulit di goda oleh syetan dari pada seribu orang yang ahli ibadah (tetapi tidak
berilmu),” (H.R. Turmudzi).
Dapat di lihat dalam kehidupan
masyarakat terjadinya gangguan ketertiban di akibatkan karena beberapa faktor,
salah satunya ialah kurangnya ilmu pengetahuan yang di miliki oleh anggota
masyarakat itu, seperti :
- Kurangnya pengetahuan agama dalam suatau anggota masyarakat mengakibatkan kurang mengerti / paham tentang batas-batas halal dan haram sehingga cenderung berbuat seenaknya, tidak tahu malu, dan tidak tahu sopan santun.
- Kurangnya pengetahuan umum karena tidak bersekolah atau putus sekolah, sehingga tidak terampil menciptakan pekerjaan sendiri, sulit mencari pekerjaan akibatnya sulit mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika keadaannya demikian ditambah lagi dengan kurangnya pengetahuan tentang agama maka orang mudah terjerumus kedalam perbuatan yang dilarang oleh agama seperti berjudi, mencuri, merampok, bahkan membunuh.
Islam sangat memperhatikan
kebahagiaan dunia dan akhirat sebagaimana firman Allah Swt, yang artinya,
“Peliharalah diri dan keluargamu dariapi neraka.” Keluarga adalah masyarakat
terkecil, jika semua keluarga di dalam masyarakat itu baik, maka baik pulalah
kehidupan dalam masyarakat dan alangkah indahnya sesuatu masyarakat yang
anggota masyarakatnya memiliki keterpaduan antara ilmu agama dan ilmu umum.
8. Pentingnya Mengamalkan Ilmu
Ilmu yang telah didapat dari usaha
menuntut ilmu adalah untuk di amalkan karena ilmu itu terjaga dan tidak mudah
hilang apabila telah diamalkan, terkhusus pada diri sendiri, apakah ilmu yang
telah didapat di amalkan pada kebaikan diri sendiri karena sebelum mengamalkan
ilmu pada orang lain setidaknya telah diamalkan pada diri sendiri. Setinggi
apapun seseorang menuntut ilmu jika tidak di amalkan maka dengan sendirinya
ilmu tersebut akan mudah hilang, ilmu akan bertambah jika di amalkan sebaliknya
ilmu akan menghilang jika tidak di amalkan.
Diantara salaf ada yang berkata-kata
: “usaha kami untuk menjaga ilmu yang kami miliki bersandar pada amalan kami,
sebagian lagi mengatakan : ilmu itu menuntut untuk di amalkan, jika tuntutan
ilmu itu telah terpenuhi maka ia akan menetap dan jika tidak di penuhi maka ia
akan pergi menghilang.”
Sekecil apapun ilmu yang diajarkan
kepada orang lain selama itu bersifat kebaikan niscaya Allah akan senantiasa
meridhainya. Ibnu Abbas berkata : “Sesungguhnya orang yang mengajarkan kebaikan
kepada orang lain, maka setiap hewan melata akan menohonkan ampunan baginya,
termasuk pula ikan paus di lautan, (Mukhtasar Minhajul Qashidin ; 11).” Orang
yang mengajarkan ilmu akan mendapatkan balasan pahala seperti pahala orang yang
mengamalkan ilmu tersebut, dan yang lebih utamanya lagi ialah pahala seorang
alim akan terus bermanfaat dan tidak akan terputus meskipun telah wafat.
Dengan mengaplikasikan ilmu yang
telah didapat dan menyeru kepadaNya serta berlaku sabar dalam menjalaninya agr
ilmu yang telah di peroleh memiliki buah yang baik dan dapat berkembang, dengan
demikian banyak orang lain yang dapat menfaat dari ilmu tersebut.
Hendaklah diketahui bahwa hanya
dengan ilmu derajat seseorang bisa terangkat, kecuali jika ilmu tersebut telah
diamalkan. Dalam menafsirkan ayat ; “Dan kalau kami menghendaki,
sesungguhnya kami tinggikan dengan ayat-ayat itu” (QS. Al-A’raaf ; 176).”
Ayat ini menunjukkan dengan jelas bahwa hanya dengan ilmu, derajat seseorang
tidak bisa terangkat, karena Allah telah mengkhabarkan dalam ayat tersebut
bahwa dia telah mendatangkan kepada sekelompok orang ayat-ayat tersebut, dan ia
tidak bisa mengangkat derajat mereka. Sesungguhnya derajat orang yang berilmu
hanyalah terangkat sesuai dengan kadar pengemalannya dan seseorang yang telah
mengamalkan ilmu yang telah di dapatnya niscaya Allah Swt akan mengajarkan
kepadanya ilmu yang belum di kehendakinya.
“Barangsiapa yang
dikehendaki oleh Allah menjadi orang yang baik, maka ia akan difahamkan dalam
urusan agama.” [HR. Bukhari]
Islam mewajibkan kaum
muslimin dan muslimat untuk menuntut ilmu sejak dari buaian sampai liang lahat,
sebab orang yang berilmu di masyarakat menduduki derajat yang tinggi, sedangkan
yang tidak berilmu menduduki derajat yang rendah.
Islam menganggap bahwa
agama tidak akan mendapat tempat yang baik, apabila orang-orang Islam sendiri
tidak mempunyai pengetahuan yang matang dan pikiran yang sehat. Oleh karena
itu, pengetahuan bagi Islam bagaikan ruh (nyawa) bagi manusia.
Berdasarkan pernyaaan
di atas, maka saya akan kemukakan nasehat yang utama bagi kita semua. Yakni
tentang perlunya semangat dalam menuntut ilmu dan tafaqquh fid-din, akan
tetapi pada kenyataannya banyak dari kita yang tidak sungguh-sungguh dalam
belajar, bahkan meninggalkannya (berpaling darinya). Telah menjadi keprihatinan
tersendiri dalam benak saya. Oleh karena itu, insya Allah akan dijelaskan dan
diuraikan urgensi tholibul ilmi dari dalil-dalil Al_Qur’an, disertai
ta’liq sederhana.
Ikhwan wa akhwat
fillah yang dirahmati_Nya,
Allah subhanahu wa ta’ala telah banyak memaparkan pentingnya menuntut ilmu dalam deretan firman_Nya yang mengagumkan.
Allah subhanahu wa ta’ala telah banyak memaparkan pentingnya menuntut ilmu dalam deretan firman_Nya yang mengagumkan.
Artinya : “Allah
menyatakan bahwasanya tidak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan Dia, Yang
menegakkan keadilan. Para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga
menyatakan yang demikian itu). Tak ada Ilah (yang berhak disembah) melainkan
Dia, Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [QS. Ali Imran (3): 18]
9. Mensyukuri Nikmat
Alloh dengan Menuntut Ilmu
Sesungguhnya wajib bagi
kita bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan cara melaksanakan
kewajiban terhadap-Nya. Merupakan kewajiban karena nikmat yang telah diberikan
Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada kita. Seseorang yang tidak melaksanakan kewajibannya
kepada orang lain yang telah memberikan sesuatu yang sangat berharga baginya,
ia adalah orang yang yang tidak tahu berterima kasih. Maka manusia yang tidak
melaksanakan kewajibannya kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah manusia yang
paling tidak tahu berterima kasih.
Apakah
kewajiban yang harus kita laksanakan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang
telah memberikan karuniaNya kepada kita? Jawabannya adalah karena Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah memberikan karuniaNya kepada kita dengan petunjuk ke
dalam Islam dan mengikuti Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa salam, maka bukti
terima kasih kita yang paling baik adalah dengan beribadah hanya kepada Allah
Subhanahu wa Ta'ala secara ikhlas, mentauhidkan Allah Subhanahu wa Ta'ala,
menjauhkan segala bentuk kesyirikan, ittiba’ (mengikuti) Nabi Muhammad
Shallallahu'alaihi wa salam, taat kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala dan RasulNya
Shallallahu'alaihi wa salam, yang dengan hal itu kita menjadi muslim yang
benar.
Muslim
sejati ialah muslim yang mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah Subhanahu wa
Ta'ala semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, serta ittiba’
hanya kepada Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa salam. Oleh karena itu untuk
menjadi seorang muslim yang benar, ia harus menuntut ilmu syar’i. Ia
harus belajar agama Islam, karena Islam adalah ilmu dan amal shalih. Rasulullah
Shallallahu'alaihi wa salam diutus Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk membawa
keduanya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :
( هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ
لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْمُشْرِكُونَ )
Dia-lah yang telah mengutus RasulNya
(dengan membawa) petunjuk (Al Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya
atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (QS At Taubah:33 dan Ash Shaf : 9).
Allah Subhanahu wa Ta'ala juga
berfirman :
( هُوَ الَّذِي أَرْسَلَ رَسُولَهُ بِالْهُدَى وَدِينِ الْحَقِّ
لِيُظْهِرَهُ عَلَى الدِّينِ كُلِّهِ وَكَفَى بِاللَّهِ شَهِيدًا )
Dia-lah yang telah mengutus RasulNya
dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkanNya terhadap semua
agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. (QS
Al Fath : 28).
Yang
dimaksud dengan الهُدَى (petunjuk) ialah ilmu yang bermanfaat,
dan دِيْنُ الْحَقِ (agama yang benar) ialah amal shalih. Allah
Subhanahu wa Ta'ala mengutus Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa salam untuk
menjelaskan kebenaran dari kebatilan, menjelaskan tentang nama-nama Allah
Subhanahu wa Ta'ala, sifat-sifatNya, perbuatan-perbuatanNya, hukum-hukum dan
berita yang datang dariNya, memerintahkan semua yang bermanfaat untuk hati, ruh
dan jasad. Beliau Shallallahu'alaihi wa salam memerintahkan untuk mengikhlaskan
ibadah semata-mata karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, mencintaiNya, berakhlak
dengan akhlak yang mulia, beramal shalih, beradab dengan adab yang bermanfaat.
Beliau Shallallahu'alaihi wa salam melarang perbuatan syirik, amal dan akhlak
yang buruk yang berbahaya untuk hati dan badan, dunia dan akhirat.
Cara
untuk mendapat hidayah dan mensyukuri nikmat Allah Subhanahu wa Ta'ala adalah
dengan menuntut ilmu syar’i. Menuntut ilmu sebagai jalan yang lurus (ash
shirathal mustaqim), untuk memahami antara yang haq dan bathil, yang
bermanfaat dengan yang mudaharat (membahayakan), yang dapat mendatangkan
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seorang
muslim tidaklah cukup hanya menyatakan ke-Islamannya, tanpa memahami Islam dan
mengamalkannya. Pernyataannya itu harus dibuktikan dengan melaksanakan
konsekuensi dari Islam.
Untuk
itu, menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi. Seorang
muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu syar’i. Rasulullah
Shallallahu'alaihi wa salam bersabda :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ (رواه ابن
ماجه 224 عن أنس بن مالك t )
Menuntut ilmu itu wajib atas setiap
muslim. (HR Ibnu Majah No. 224 dari
shahabat Anas bin Malik t, lihat Shahih Jamiush Shagir, no. 3913)
10. Keutamaan Ilmu dan Menuntutnya
Ilmu memiliki keutamaan, diantaranya :
10.1. Menuntut ilmu adalah jalan menuju
Surga. Rasulullah Shallallahu'alaihi wa
salam bersabda :
…مَنْ
سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا
إِلَى الْجَنَّةِ
(رواه
مسلم4/2074 رقم 2699 و غيره عن أبي هريرة t )
Barangsiapa yang menempuh suatu
jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju
Surga. (HR Muslim 4/2074 no. 2699 dan yang
lainnya dari shahabat Abu Hurairah t).
10.2. Warisan para Nabi, sebagaimana
sabda Rasululloh :
إِنَّ الْعُلَمَاءَ وَرَثَةُ الْأَنْبِيَاءِ إِنَّ
الْأَنْبِيَاءَ لَمْ يُوَرِّثُوا دِينَارًا وَلَا دِرْهَمًا إِنَّمَا وَرَّثُوا
الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ رَوَاه التِّرْمِذِيْ
Sesungguhnya para ulama adalah
pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham,
namun hanya mewariskan ilmu. Sehingga siapa yang mengambil ilmu tersebut maka
telah mengambil bagian sempurna darinya (dari warisan tersebut). (HR At
Tirmidzie )
10.3. Allah mengangkat derajat ahli ilmu didunia dan akherat,
sebagaimana firmanNya:
Hai orang-orang yang beriman,
apabila dikatakan kepadamu:”Berlapang-lapanglah dalam majlis”, lapangkanlah
niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.Dan apabila dikatakan:”Berdirilah
kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat.Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. 58:11)
10.4. Ilmu Pintu kebaikan dunia dan
akherat, sebagaimana sabda Rasululloh :
مَنْ يُرِدْ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا
يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ
Barang siapa yang Allah inginkan
padanya kebaikan maka Allah fahamkan agamanya.
11.PENGHALANG-PENGHALANG DALAM MENUNTUT ILMU
Menuntut ilmu memiliki beberapa penghalang yang menghalangi antara ilmu itu dan orang yang mencarinya. Di antara penghalang tersebut adalah:
1. Niat yang Rusak
Niat adalah dasar dan rukun amal. Apabila niat itu salah dan rusak, maka amal yang dilakukannya pun ikut salah dan rusak sebesar salah dan rusaknya niat.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّـمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang akan mendapatkan apa yang diniatkan. Maka barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai dengan apa yang ia niatkan.” [2]
Sesungguhnya kewajiban yang paling penting untuk diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu adalah mengobati niat, memperhatikan kebaikannya, dan menjaganya dari kerusakan.
Imam Sufyan ats-Tsauri (wafat th. 161 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat untuk aku obati daripada niatku.” [3]
Menuntut ilmu memiliki beberapa penghalang yang menghalangi antara ilmu itu dan orang yang mencarinya. Di antara penghalang tersebut adalah:
1. Niat yang Rusak
Niat adalah dasar dan rukun amal. Apabila niat itu salah dan rusak, maka amal yang dilakukannya pun ikut salah dan rusak sebesar salah dan rusaknya niat.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّـمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوِ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ.
“Amal itu tergantung niatnya, dan seseorang akan mendapatkan apa yang diniatkan. Maka barangsiapa hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya itu karena Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa hijrahnya karena dunia yang hendak diraihnya atau karena wanita yang akan dinikahinya, maka hijrahnya itu sesuai dengan apa yang ia niatkan.” [2]
Sesungguhnya kewajiban yang paling penting untuk diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu adalah mengobati niat, memperhatikan kebaikannya, dan menjaganya dari kerusakan.
Imam Sufyan ats-Tsauri (wafat th. 161 H) rahimahullaah mengatakan, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat untuk aku obati daripada niatku.” [3]
Al-Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullaah menuturkan, “Siapa yang mencari ilmu karena mengharap negeri akhirat, ia akan mendapatkannya. Dan siapa yang mencari ilmu karena mengharap kehidupan dunia, maka kehidupan dunia itulah bagian dari ilmunya.” Imam az-Zuhri (wafat th. 124 H) rahimahullaah berkata, “Maka ilmu itulah bagian dari dunianya.” [4]
Imam Malik bin Dinar (wafat th. 130 H) rahimahullaah mengatakan, ”Barangsiapa mencari ilmu bukan karena Allah Ta’ala, maka ilmu itu akan menolaknya hingga ia dicari hanya karena Allah.”[5]
Baiknya niat merupakan penolong yang paling besar bagi seorang penuntut ilmu dalam memperoleh ilmu, sebagaimana dikatakan Abu ‘Abdillah ar-Rudzabari (wafat th. 369 H) rahimahullaah, “Ilmu tergantung amal, amal tergantung keikhlasan, dan keikhlasan mewariskan pemahaman tentang Allah ‘Azza wa Jalla.”[6]
Imam Ibrahim an-Nakha’i (wafat th. 96 H) rahimahullaah mengatakan, “Barangsiapa mencari sesuatu berupa ilmu yang ia niatkan karena mengharap wajah Allah, maka Allah akan memberikan kecukupan padanya.” [7]
Hendaklah kita memperbaiki niat kita dalam menuntut ilmu dan menjauhi niat buruk yang hanya untuk memperoleh keuntungan duniawi. Karena, terkadang seorang penuntut ilmu terbetik niat dalam hatinya untuk tampil (ingin terkenal). Apabila ia benar-benar ingin mempelajari ilmu, membaca berbagai nash dan buku sejarah serta memperhatikan isinya, lalu ia termasuk orang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah Ta’ala, hal itu akan menjadikannya sadar kembali, perhatiannya terhadap kitab-kitab itu membuatnya bersemangat kembali untuk berbuat kebenaran dan kebaikan. Adapun jika ia termasuk orang-orang yang dikalahkan hawa nafsu dan syahwatnya, hendaklah ia tidak mencela, kecuali kepada dirinya sendiri.[8]
2. Ingin Terkenal dan Ingin Tampil
Ingin terkenal dan ingin tampil adalah penyakit kronis. Tidak seorang pun dapat selamat darinya, kecuali orang-orang yang dijaga oleh Allah Ta’ala.
Apabila niat seorang penuntut ilmu adalah agar terkenal, ingin dielu-elukan, ingin dihormati, ingin dipuji, disanjung, dan yang diinginkannya adalah itu semua, maka ia telah menempatkan dirinya pada posisi yang berbahaya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
يَا نَعَايَا الْعَرَبِ، يَا نَعَايَا الْعَرَبِ (ثَلاَثًا)، أَخْوَفُ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمْ: اَلرِّيَاءُ، وَالشَّهْوَةُ الْـخَفِيَّةُ.
“Wahai bangsa Arab, wahai bangsa Arab (tiga kali), sesuatu yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah riya’ dan syahwat yang tersembunyi.”[9]
Imam Ibnul Atsir (wafat th. 606 H) rahimahullaah mengatakan, “Maksud syahwat yang tersembunyi dalam hadits ini adalah keinginan agar manusia melihat amalnya.”[10]
Mahmud bin ar-Rabi’ (wafat th. 66 H) radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Ketika kematian hendak menjemput Syaddad bin Aus (wafat th. 58 H), ia berkata, ‘Yang paling aku takutkan menimpa ummat ini adalah riya’ dan syahwat tersembunyi.’” Dikatakan bahwa syahwat tersembunyi adalah seseorang ingin (senang) apabila kebaikannya dipuji.[11]
Seorang hamba yang bergembira dan senang dihormati orang lantaran ilmu yang dimiliki dan amal yang dikerjakannya, maka ini menunjukkan bahwa adanya sifat riya’ (ingin dilihat orang lain) dan sum’ah (ingin didengar orang lain) dalam dirinya. Barangsiapa memperlihatkan amalnya karena riya’, maka Allah Ta’ala akan memperlihatkannya kepada manusia, dan barangsiapa memperdengarkan amalnya, maka Allah Ta’ala akan memperdengarkan amal (kejelekan)nya kepada manusia.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ سَمَّعَ سَمَّعَ اللهُ بِهِ، وَمَنْ يُرَائِي يُرَائِي اللهُ بِهِ.
“Barangsiapa memperdengarkan (menyiarkan) amalnya, maka Allah akan menyiarkan aibnya. Dan barangsiapa beramal karena riya’, maka Allah akan membuka niatnya (di hadapan manusia pada hari Kiamat).”[12]
Syahwat merupakan musibah, kecuali bagi orang yang hatinya ingat kepada Allah Ta’ala. Ketika Imam Ahmad bin Hanbal (wafat th. 241 H) rahimahullaah mendengar bahwa namanya disebut-sebut, beliau mengatakan, “Semoga ini bukan ujian bagiku.” [13]
3. Lalai Menghadiri Majelis Ilmu
Para ulama Salaf mengatakan bahwa ilmu itu di-datangi, bukan mendatangi. Tetapi, sekarang ilmu itu mendatangi kita dan tidak didatangi, kecuali beberapa saja.
Jika kita tidak memanfaatkan majelis ilmu yang dibentuk dan pelajaran yang disampaikan, niscaya kita akan gigit jari sepenuh penyesalan. Seandainya kebaikan yang ada dalam majelis-majelis ilmu hanya berupa ketenangan bagi yang menghadirinya dan rahmat Allah yang meliputi mereka, cukuplah dua hal ini sebagai pendorong untuk menghadirinya. Lalu, bagaimana jika ia mengetahui bahwa orang yang menghadirinya -insya Allah- memperoleh dua keberuntungan, yaitu ilmu yang bermanfaat dan ganjaran pahala di akhirat?!
Seorang Muslim hendaklah sadar bahwa Allah Ta’ala telah memberikan kemudahan kepada hamba-Nya dalam menuntut ilmu. Allah Ta’ala telah memberikan kemudahan dengan adanya beberapa fasilitas dalam menuntut ilmu, berbeda dengan zamannya para Salafush Shalih. Bukankah sekarang ini dengan mudahnya kita bisa dapatkan bekal untuk menuntut ilmu seperti uang, makanan, minuman, pakaian, dan kendaraan?? Berbeda dengan para ulama Salaf, mereka sangat sulit mendapatkan hal di atas. Bukankah sekarang ini telah banyak didirikan masjid, pondok pesantren, majelis ta’lim, dan lainnya disertai sarana ruangan yang serba mudah, baik dengan adanya lampu, kipas angin, AC, dan lainnya??!! Bukankah sekarang ini berbagai kitab ilmu telah dicetak dengan begitu rapi, bagus, dan mudah dibaca??!! Lalu dimanakah orang-orang yang mau memanfaatkan nikmat Allah yang sangat besar ini untuk mengkaji dan mempelajari ilmu syar’i??? Bukankah sekarang sudah banyak ustadz-ustadz yang bermanhaj Salaf mengajar dan berdakwah di tempat (daerah) Anda, lantas mengapa Anda tidak menghadirinya?? Mengapa Anda tidak mau mendatangi majelis ilmu??
4. Beralasan dengan Banyaknya Kesibukan
Alasan ini dijadikan syaitan sebagai penghalang dalam menuntut ilmu. Berapa banyak saudara kita yang telah dinasihati dan dimotivasi untuk menuntut ilmu syar’i, tetapi syaitan menggoda dan membujuknya.
Orang yang menyia-nyiakan kesempatan mencari ilmu, maka kesibukannya membuat ia tidak dapat menghadiri majelis ilmu. Ia menjadikannya sebagai bahan alasan yang sengaja dibuat-buat sehingga ketidakhadirannya di majelis ilmu memiliki alasan yang jelas.
Berbagai kesibukan yang ada adalah penyebab utama yang menghalangi seorang penuntut ilmu menghadiri majelis ilmu dan memperoleh ilmu yang banyak. Tetapi, orang yang Allah Ta’ala bukakan mata hatinya, ia akan mengatur waktunya dan mengguna-kannya sebaik mungkin sehingga memperoleh manfaat yang banyak. Kalau seseorang mau berfikir secara wajar, mempunyai niat dan kemauan untuk menuntut ilmu, maka ia akan dapat mengatur waktunya dan Allah akan memudahkannya.
Oleh karena itu, pandai-pandailah mengatur waktu yang Allah Ta’ala berikan kepada kita. Berikanlah bagian untuk menuntut ilmu syar’i. Sisihkanlah satu atau dua hari dalam seminggu untuk menghadiri majelis ilmu jika tidak mampu melakukannya sesering mungkin. Jangan biarkan hari-hari kita penuh dengan kesibukan, namun kosong dari menuntut ilmu dan berdzikir kepada Allah Ta’ala. Ingat, bahwa orang yang tidak meghadiri majelis ilmu dan tidak mau menuntut ilmu syar’i, maka ia akan merugi di dunia dan di akhirat.
5. Menyia-nyiakan Kesempatan Belajar di Waktu Kecil
Seseorang akan iri apabila melihat orang-orang yang lebih muda darinya lebih bersemangat dan lebih awal mendatangi majelis ilmu. Ia akan merasa iri pada saat melihat anak-anak kecil dan para pemuda telah hafal Al-Qur-an. Ia menyesali masa mudanya yang tidak dimanfaatkan sebaik mungkin untuk menghafal dan menuntut ilmu. Akibatnya, ketika ia berkeinginan menghafal dan menuntut ilmu di masa tuanya, banyak kesibukan dan banyak tamu yang mengunjunginya siang dan malam. Karena itulah al-Hasan al-Bashri (wafat th. 110 H) rahimahullaah mengatakan, “Belajar hadits di waktu kecil bagai mengukir di atas batu.” [14]
Oleh karena itu, sebelum kita disibukkan oleh orang lain, direpotkan berbagai urusan, dan menyesal seperti orang yang mengalaminya, maka manfaatkanlah masa muda untuk menuntut ilmu syar’i. Ini bukan berarti orang yang sudah tua boleh berputus asa dalam menuntut ilmu, namun seluruh umur yang kita miliki adalah kesempatan untuk menuntut ilmu karena ia adalah ibadah. Allah Ta’ala berfirman,
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّىٰ يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Dan beribadahlah kepada Rabb-mu hingga datangnya keyakinan (kematian).” [Al-Hijr: 99]
Oleh karena itu, para remaja maupun orang tua, laki-laki maupun wanita, segeralah bertaubat kepada Allah Ta’ala atas segala apa yang telah luput dan berlalu. Sekarang mulailah menuntut ilmu, menghadiri majelis ta’lim, belajar dengan benar dan sungguh-sungguh, dan menggunakan kesempatan sebaik-baiknya sebelum ajal tiba.
Ketika ditanyakan kepada Imam Ahmad, “Sampai kapankah seseorang menuntut ilmu?” Beliau pun menjawab, “Sampai meninggal dunia (mati).” [15]
6. Bosan dalam Menuntut Ilmu
Di antara penghalang menuntut ilmu adalah merasa bosan dan beralasan dengan berkonsentrasi mengikuti informasi terkini guna mengetahui peristiwa yang sedang terjadi.
Ilmu yang kita cari mendorong kita untuk mengetahui keadaan kita. Kita tidak akan bisa mengatasi berbagai masalah dan musibah yang menimpa, kecuali dengan meletakkannya pada timbangan syari’at. Seorang penyair mengatakan,
اَلشَّرْعُ مِيْزَانُ اْلأُمُورِ كُلِّهَا وَشَاهِدٌ لِفَرْعِهَا وَأَصْلِهَا
Syari’at adalah timbangan semua permasalahan,
dan saksi atas cabang masalah dan pokoknya. [16]
Orang yang enggan menuntut dan menghafalkan ilmu, namun menyibukkan diri dengan mengikuti berita koran dan majalah, radio, televisi, internet, dan mencurahkan waktu dan tenaganya untuk hal yang demikian, kemudian berupaya mengatasi permasalahan dengan pandangannya yang kerdil tanpa merujuk kepada para ulama, maka ia merugi dan ia akan mengetahui kerugiannya nanti di kemudian hari.
Sangat disayangkan, banyak aktifis muda yang marah apabila larangan Allah Ta’ala dilanggar dan menangis karena larangan Allah Ta’ala dilecehkan, namun mereka meremehkan berbagai kemaksiyatan yang lainnya seperti ghibah, namimah, dan lainnya. Mereka tidak melaksanakan shalat seperti contoh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau bersabda,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِيْ أُصَلِّيْ.
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat!” [17]
Mereka pun tidak berwudhu’ seperti wudhu’nya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau bersabda,
مَنْ تَوَضَّأَ كَمَا أُمِرَ وَصَلَّى كَمَا أُمِرَ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ.
“Barangsiapa berwudhu’ seperti yang diperintahkan dan shalat seperti yang diperintahkan, diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu.” [18]
Tidaklah Allah menurunkan suatu penyakit, melainkan ada obatnya. Tidaklah musibah terjadi, melainkan ada jalan keluar dalam Al-Qur-an dan As-Sunnah. Ini adalah perkara yang tidak diragukan lagi.
Oleh karena itu, jangan sekali-kali Anda berpaling atau bosan dalam menuntut ilmu. Belajarlah sampai Anda mendapatkan nikmatnya menuntut ilmu. Informasi yang paling baik, benar dan akurat adalah infor-masi dari Al-Qur-an dan Sunnah yang shahih.
7. Menilai Baik Diri Sendiri
Maksudnya adalah merasa bangga apabila dipuji dan merasa senang apabila mendengar orang lain memujinya.
Memang pujian manusia kepada Anda merupakan kabar gembira yang disegerakan Allah Ta’ala bagi Anda. Diriwayatkan dari Abu Dzarr Jundub bin Junadah (wafat th. 32 H) radhiyallaahu ‘anhu, ia berkata, “Ditanyakan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Bagaimana pendapat Anda tentang seseorang yang melakukan kebaikan, kemudian manusia memujinya karena perbuatan tersebut?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab,
تِلْكَ عَاجِلُ بُشْرَى الْمُؤْمِنِ.
‘Itu adalah kabar gembira yang Allah segerakan bagi seorang mukmin.’” [19]
Tetapi, berhati-hatilah jika Anda merasa gembira ketika dipuji dengan apa yang tidak Anda miliki. Sekali lagi berhati-hatilah agar hal ini tidak menimpa Anda. Ingatlah firman Allah Ta’ala mengenai celaan-Nya terhadap suatu kaum,
وَيُحِبُّونَ أَنْ يُحْمَدُوا بِمَا لَمْ يَفْعَلُوا
“...Dan mereka suka dipuji atas perbuatan yang tidak mereka lakukan...” [Ali ‘Imran: 188]
Kemudian ingatlah bahwa merasa diri baik itu pada umumnya adalah perbuatan tercela, kecuali pada beberapa perkara yang sesuai dengan aturan-aturan syari’at. Allah Ta’ala berfirman,
فَلَا تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dia mengetahui tentang orang yang bertakwa.” [An-Najm: 32]
Begitu juga ingatlah celaan Allah Ta’ala kepada Ahli Kitab,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يُزَكُّونَ أَنْفُسَهُمْ ۚ بَلِ اللَّهُ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ وَلَا يُظْلَمُونَ فَتِيلًا
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang menganggap dirinya suci? Sebenarnya Allah menyucikan siapa yang Dia kehendaki dan mereka tidak dizalimi sedikit pun.” [An-Nisaa': 49]
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تُزَكُّوا أَنْفُسَكُمْ اَللهُ أَعْلَمُ بِأَهْلِ الْبِرِّ مِنْكُمْ.
“Janganlah menganggap diri kalian suci, Allah lebih mengetahui orang yang berbuat baik di antara kalian.” [20]
Boleh saja seseorang merasa dirinya baik dalam beberapa hal, sebagaimana telah kami sebutkan tadi. Misalnya perkataan Nabi Yusuf ‘alaihis salaam,
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَىٰ خَزَائِنِ الْأَرْضِ ۖ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
“Dia (Yusuf) berkata, ‘Jadikanlah aku bendaharawan (Mesir), sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga dan berpengetahuan.’” [Yusuf: 55]
PENUTUP
Kesimpulan
Islam mewajibkan kita menuntut ilmu-ilmu dunia yang memberi manfaat dan berguna untuk menuntut kita dalam hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan kita di dunia, agar tiap-tiap muslim jangan picik ; dan agar setiap muslim dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan yang dapat membawa kemajuan bagi penghuni dunia ini dalam batas-batas yang diridhai Allah swt. Rasulullah Saw.,
bersabda: مٍطَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu itu diwajibkan bagi setiap orang Islam”
(Riwayat Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Adi, dari Anas bin Malik)
Seorang muslim tidaklah cukup hanya menyatakan ke-Islamannya,
tanpa memahami Islam dan mengamalkannya. Pernyataannya itu harus dibuktikan
dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam.
Untuk itu, menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang
abadi. Seorang muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu syar’i. Rasulullah
Shallallahu'alaihi wa salam bersabda :
طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
(رواه ابن ماجه 224 عن أنس بن مالك t )
Menuntut ilmu itu wajib
atas setiap muslim. (HR Ibnu Majah No. 224
dari shahabat Anas bin Malik t, lihat Shahih Jamiush Shagir, no. 3913)