TUGAS
INDIVIDU
Disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah :
Disusun guna memenuhi salah satu tugas mata kuliah :
DISUSUN OLEH :
RYAN HADI PURNOMO
RYAN HADI PURNOMO
13120137
PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
IKIP PGRI SEMARANG
2013
Kutukan Nilai Nol
HAH?!
Soalnya sebanyak ini? Mana sulit-sulit! Bowo membatin.
Keringat
dingin sudah sejak tadi mengucur di dahi Bowo. Telapak tangannya juga basah.
Dia memutar-mutar pensilnya dengan gelisah. Saat itu ulangan matematika. Dari
lima belas soal, rasanya tidak ada yang bisa Bowo kerjakan. Hati-hati Bowo
melirik ke kanan dan kirinya. Teman-temannya tampak tenang mengerjakan
soal-soal. Bikin Bowo makin gelisah.Sebelumnya Bowo memang malas-malasan belajar.
Menunggu sampai malam sebelum ulangan, Bowo baru membuka bukunya. Akibatnya
semalaman Bowo menguras tenaga mempelajari buku matematikanya. Sampai-sampai
dia ketiduran di meja belajar. Besoknya bangun kesiangan dan tidak sempat
sarapan. Yang terparah, Bowo tidak bisa mengingat semua rumus yang telah
dipelajarinya.
Mana
ngantuk! Bowo terus saja menggerutu dalam hati. Jantung Bowo berdetak dua kali
lebih cepat waktu Bu Guru bilang, “Tinggal lima belas menit lagi.”
Dengan
hati gundah Bowo mencoba menyelesaikan soal-soal itu.
“Kumpulkan!”
kata Bu Guru lima belas menit kemudian. Bowo tersentak kaget. Dia baru
menyelesaikan beberapa soal. Itu pun dikerjakan dengan tidak percaya diri.
Sekarang Bowo cuma bisa pasrah menunggu hasilnya.
Waktu
istirahat Bowo menggabungkan diri dengan teman-temannya yang lagi sibuk
membahas ulangan matematika tadi. Semakin lama dia mendengarkan, semakin tak
enak perasaannya. Rasa-rasanya jawaban Bowo salah semua.
“Nomor
satu jawaban kalian berapa? Seratus tiga puluh?” tanya seorang anak.
“Iya,
sama!” sahut yang lain bersemangat.
Bowo
menginat-ingat jawabannya sendiri. Ng… jawabanku sepertinya bukan itu, batin
Bowo getir.
Sampai
pulang ke rumah pun Bowo masih kepikiran. Kalau Bowo dapat nilai nol bagaimana?
“Gimana
ulangannya?” tanya mama Bowo, mengagetkan Bowo yang berjalan sambil melamun.
“Ng…beres,”
jawab Bowo asal saja.
Ketika
Bowo sedang duduk di dekat jendela kamar tidurnya, merenungi nasib ulangan
matematikanya, tiba-tiba Mbak Tiwi mengejutkannya.
“Hayo!!!
Lagi mikirin ulangannya yang salah semua, ya? Bilangin mama, lho!”
“Jangan!
Lagian belum tentu dapat nol, kok!” kata Bowo gusar.
“Kata
orang, nilai nol itu bisa memberi kutukan. Sekali dapat nol, selamanya dapat
nol!” kata Mbak Tiwi menakuti-nakuti, lalu cekikikan. Malangnya Bowo tidak bisa
berhenti memikirkan omongan Mbak Tiwi meskipun dia tahu itu tidak benar. Bowo
jadi ketakutan. Mudah terkejut dan mimpi buruk. Setiap kali melihat benda yang
berbentuk bulat, dia langsung terbayang nilai nol.
Nol! Nol!
Nol! Kata itu berdengung terus di telinga Bowo.
“Aku nggak
mau dikutuk dapat nilai nol terus,” ringis Bowo.
Nol Nol
Nol…
Bowo jadi
tidak bersemangat. Ke sekolah jadi lesu, takut Bu Guru membagikan hasil
ulangan. Pulang ke rumah pun sama saja, takut dimarahi mama karena dapat nol.
Kalau nilai nol benar-benar membawa kutukan dan selamanya Bowo mendapatkan
nilai nol, bagaimana dia kelak bisa melanjutkan ke universitas? Perusahaan mana
yang mau menerimanya bekerja? Orang-orang akan mulai menjauhinya karena
kebodohannya, kemalasannya. Bowo akan sendirian, tidak punya teman, tidak punya
pekerjaan, hanya nilai nol yang akan selalu menemaninya…
“AAAAAAH!!!”
jerit Bowo. Dia terbangun dari tidurnya. “Uh, nyesel, deh, kenapa aku
malas-malasan kemarin. Jadi ketakutan begini,” keluh Bowo. Dia lantas
bersiap-siap berangkat ke sekolah. Hari itu Bu Guru akan membagikan hasil
ulangan matematika. Hati Bowo jadi tak tenang.
“Gania,”
Bu Guru memanggil satu persatu berdasarkan daftar absensi sambil menyerahkan
kertas ulangan muridnya.
Aduh,
sudah abjad G. Gimana kalau aku beneran dapat nol? Aku nggak mau dikutuk
selamanya…
“Obiet!”
HAH?!
Sudah ini namaku! Bowo makin gelisah. Saking cemasnya dia sampai menutup kedua
matanya.
“Prabowo!
Prabowo?”
Bowo
merasakan seseorang menyikutnya. Dia membuka matanya dan tersadar kalau Bu Guru
barusan memanggilnya. Kaki Bowo terasa loyo, kayak agar-agar. Bowo bangkit dari
kursinya lalu berjalan ke depan kelas dengan jantung berdebar keras. Tangan
Bowo gemetar ketika menerima kertas ulangannya.
“Aku belum
siap. Nanti saja kulihat,” gumam Bowo, mendekap erat-erat kertas ulanganya ke
dada. Teman sebangku Bowo heran melihat Bowo langsung menyimpan kertas
ulangannya tanpa melihat hasilnya terlebih dahulu.
“Kamu
dapat berapa, Bowo?” tanya Rangga. “Uh! Aku cuma dapat tujuh!”
HAH?! Nilai
tujuh mengeluh begitu? Gimana aku? Pikir Bowo.
Sesampainya
di rumah, setelah memastikan mamanya lagi sibuk, Bowo berlari ke samping rumah,
lalu sembunyi-sembunyi memeriksa kertas ulangannya.
“Buka
nggak, ya? Ah, buka sajalah! Mau gimana lagi?”
HAH?! HAH?!
Mata Bowo terbelalak. Mulutnya menganga lebar. “Aku dapat empat! Hore! Nggak
jadi kena kutuk! Horeeee!” Bowo melonjak kegirangan. Ternyata dia tidak dapat
nilai nol, tetapi dapat nilai empat. “Horeee! Mama! Ulangan matematikaku dapat
empat!”
“Dapat empat
kok girang? Itu kan bukan nilai yang bagus!” omel mama. Bowo tidak peduli.
Sekalipun dapat nilai satu, paling tidak bukan nol. Mbak Tiwi yang melihat
tingkah pola adiknya geleng-geleng kepala.
“Syukurlah,”
kata Bowo lega. “Kapok, deh, malas-malasan belajar.”
No comments:
Post a Comment