A.
Pengertian Wacana
Wacana
berasal dari bahasa Inggris discourse, yang artinya antara lain ”Kemampuan
untuk maju menurut urutan-urutan yang teratur dan semestinya.” Pengertian lain,
yaitu ”Komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan
teratur.” Jadi, wacana dapat diartikan adalah sebuah tulisan yang teratur
menurut urut-urutan yang semestinya atau logis. (Pengertian wacana dan wacana
naratif: Linarfad).
Selain
pengertian di atas istilah “wacana” juga dapat diartikan, yakni wacana berasal
dari bahasa Sansekerta wac/ wak/ vak, artinya berkata, berucap ( Douglas,
1967:266). Bila dilihat dari jenisnya, kata wac dalam morfologi bahasa
Sansekerta, termasuk kata kerja golongan III parasmaepada (m) yang bersifat
aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujar’. Kata tersebut kemudian mengalami
perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul di belakang adalah sufiks (
akhiran) yang bermakna membedakan (nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat
diartikan sebagai perkataan atau tuturan. (Cenya: Arti Wacana).
Ruang Lingkup Wacana /Objek Kajian Wacana
Yang
menjadi objek kajian dalam wacana adalah unit bahasa di atas kalimat atau
ujaran yang memiliki kesatuan makna dan konteks, bisa berupa naskah pidato,
rekaman percakapan yang tellah diobjekkan, percakapan langsung,catatan, debat,
cerama yang tidak artificial atau yang memang eksis dalam kehidupan
sehari-hari. Analisis wacana harus menelusuri lebih jauh ke dalam
unit-unit bahasa guna menangkap hal-hal yang tak tampak oleh analisis
kebahasaan atau analisis gramatika biasa. analisis wacana berbeda dengan
analisis gramatika yang hanya menelusuri lapisan terluar dari bahasa.
3. Jenis-Jenis
Wacana
jenis-jenis wacana dapat dilihat dari berbagai segi seperti
wacana dari segi media komunikasinya, wacana dari segi jumlah peserta yang
terlibat dalamnya, dan wacana berdasarkan cara penyampaian isinya.
a.
Wacana berdasarkan media komunikasi
1)
Wacana lisan
Wacana
lisan adalah wacana yang disampaikan secara lisan dan langsung dengan bahasa
verbal. Wacana lisan sering juga disebut tuturan atau ujaran.
2)
Wacana tulis
Wacana
tulis yaitu jenis wacana yang disampaikan secara tertulis melalui berbagai
media tulis.
b.
Wacana berdasarkan jumlah peserta yang terlibat di dalamnya
1)
Wacana monolog
Wacana
monolog adalah wacana yang dituturkan oleh satu orang.
2)
Wacana dialog
Wacana
dialog adalah wacana yang dituturkan oleh dua orang atau lebih.
3)
Wacana polilog
Wacana
polilog adalah wacana yang dituturkanoleh beberapa orang.
c.
Berdasarkan cara penyampaian isinya
1)
Wacana narasi
Wacana
narasi adalah wacana yang disampaikan dalam bentuk cerita.
2)
Wacana deskripsi
Wacana
deskripsi adalah bentuk wacana yang menggalbarkan suatu keadaan,kejadian atau
peristiwa dengan sejelas mungkin sehingga pembaca mendapat kesan seperti
melihat sendiri kejadian tersebut.
3) Wacana
eksposisi
4)
Wacana persuasi
Wacana
eksposisi adalah bentuk wacana yang bermaksud menjelaskan, mengembangkan atau
menegaskan suatu gagasan.
5)
Wacana argumentasi
Wacana
argumentasi adalah jenis wacana yang berusaha meyakinkan atau membuktikan
kebenaran suatu pernyataan,sikap, pendapat atau keyakinan.
KONTEKS
WACANA
Menurut
Halliday dan Hassan (1985:5), yang dimaksud dengan konteks wacana adalah teks
yang meyertai teks lain. Menurut kedua penulis itu, pengertian hal yang
menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan dan dituliskan, tetapi
termasuk pula kejadian yang nonverbal lainnya keseluruhan lingkungan teks itu.
Menurut
Brown dan Yule (1983) menganalisis wacana semestinya menggunakan pendekatan
pragmatis untuk memahami pemakaian bahasa. Misalnya, penganalisis wacana
haruslah mempertimbankan konteks tempat terdapatnya bagian sebuah wacana.
Beberapa unsur bahasa yang paling jelas memerlukan informasi kontekstual adalah
bentuk-bentuk deiktis, seperti di sini, sekaran, saya, kamu, ini, dan itu.
Untuk menafsirkan bentuk-bentuk deiktis itu, analisis wacana bahasa Indonesia
perlu mengetahui siapa penutur dan pendengarnya, waktu dan tempat ujaran itu.
Berikut ini adalah beberapa konsep yang berkaitan dengan konteks wacana, antara
lain:
· Praaggapan (presupposition),
· Implikatur,
· Missing link inference,
· Informasi lama dan baru.
1. Praaggapan (Presupposition)
Menurut
Filmore (1981), dalam setiap percakapan selalu digunakan tingkatan-tingkatan
komunikasi yang implisit atau praaggapan dan eksplisit dan ilokusi. Sebagai
contoh, ujaran dapat dinilai tidak tidak relevan atau salah bukan hanya dilihat
dari segi cara pengungkapan pistiwa yang salah pendeskripsiannya, tetapi juga
pada cara membuat peranggapan yang salah.
Kesalahan
membuat praanggapan mempunyai efek dalam ujaran manusia. Dengan kata lain,
praanggapan yang tepat dapat memprtinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang
diungkakan. Makin tepat praanggapan yang dihipotesiskan, makin tinggi nilai
komunikasi suatu ujaran. Dalam beberapa hal, makna wacana dapat dicari melalui
praaggapan, namun disisi lain terdapat makna yang tidak dinyatakan secara
eksplisit.
Contoh:
(1) Ibu saya dating dari Samarinda
Dalam
contoh (1) praanggapan adalah: (1) saya mempunyai ibu; (2) Ibu ada di
Samarinda. Oleh krena itu, fungsi praanggapan ialah membantu mengurangi
hambatan respon orang terhadap penafsiran suatu ujaran.
Menurut
Leech (1981:288), praanggapan haruslah dianggap sebagai dasar kelancaran wacana
yang komunikatif. Apabila dua orang terlibat dalam suatu percakapan, mereka
saling mengisi latar belakang pengetahuan yang bukan pengetahuan terhadap
situasi pada waktu itu, tetapi pengetahuan terhadap dunia pada umumnya. Begitu
percakapan berlanjut, konteksnya berlanjut dalam arti unsur-unsurnya bertambah.
Berikut ini adalah contoh yang diikuti dengan dasar yang berbeda.
Contoh:
(1) Ani menanggis sebelum dia dapat menyelesaikan
pekerjaan tangannya.
(2) Ani meninggal sebelum dia dapat menyelesaikan pekerjaan
tangannya.
Dalm ujarn (1) praanggapan yang timbul adalah bahwa Ani
dapat menyelesaikan pekerjaan tangannya, sedangkan dalam (2) Hal itu diketahui
berdasarkan penetahuan tentang dunia. Seseorang yang sudah meninggal tidak
mungkin lagi melakukan sesuatu. Jadi, apabila (2) dikembangkan dan didapati
bahwa Ani dapat menyelesaikan pekerjaan tangganya, kedua ujaran tersebut tidak
sesuai.
2. Implikatur
Konsep
implikatur kali pertama dikenalkan oleh H.P.Grice (1975) untuk memecahkan
persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa.
Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang
dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara
harfiah (Brown dan Yule, 1983:31).
Contoh:
Bersih di sini bukan?(ujaran)
Maka
secara implisit penutur menghendaki agar ruangan tersebut dibersihkan.
Menurut
Grice (1975), dalam pemakaian bahasa terdapat implikatur yang disebut
implikatur konvensional, yaitu implikatur yang ditentukan oleh arti
konvensional kata-kata yang dipakai.
Contoh:
(1)
Dia orang Jawa karena itu dia rajin.
Pada
contoh (1) tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri
(rajin) disebabkan oleh ciri lain (jadi orang Jawa), tetapi bentuk ungkapan
yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada.
Kalau individu yang dimaksud itu orang Jawa dan tidak rajin, implikaturnya yang
keliru, tetapi ujarannya tida salah. Contoh lain kata pria, kata’ pria’ tentu
mengimplikasikan mempunyai rambut, hidung, atau bibir sehingga hunbungan
antarkalimat pada contoh dibawah ini bersifat koheren, meskipun tanpa kalimat
Pria itu mempunyi rambut, hidung, dan bibir.
Grice
(1975), Implikatur percakapan itu mengutip prinsip kerjasama atu kesepakatan
bersama, yakni kesepakatan bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan harus
saling berkait. Grice (1975:45) mengemukakan prinsip kerjasama sebagai berikut:
Berikanlah
sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan tujuan
atau arah pertukaran pembicaraan yang Anda terlibat didalamnya.
Dengan prinsip umum tersebut, dalam
perujaran, para penutur disarankan untuk menyampaikan ujaran sesuai dengan
konteks terjadinya peristiwa tutur, tujuan tutur, dan giliran tutur yang ada.
Dalam penerapannya, prinsip kerjasama tersebut ditopang olehseperangkat asumsi
yang disebut prinsip-prinsip percakapan (maxims of conversation), yaitu:
· Prinsip kuantitas,
· Prinsip kualitas,
· Prinsip hubungan,dan
· Prinsip cara.
a. Prinsip Kuantitas
Berikan sumbangan anda seinformatif yang diperlukan, jangan
memberikan sumbangan informasi melebihi yang dibutuhkan.
b. Prinsip Kualitas
Jangan mengatakan sesuatu yang anda yakini tidak benar dan
jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.
c.
Prinsip Hubungan
Usahakan perkataan anda ada relevansinya.
d. Prinsip Cara
Hindari pernyataan-pernyatan yang samar, usahakan agar
ringkas, dan usahakan berbicara dengan teratur.
3. Inferensi
Inferensi
atau penarikan simpulan dikatakan oleh Gumperz (1982) sebagai proses
interpretasi yang ditentukan oleh situai dan konteks percakapan. Dengan
inferensi pendengar menduga kemauan penutur dan dengan itu pula, pendengar
meresponya.
Sering
terjadi apa yang dimaksud penutur tidak sama dengan apa yang dianggap pendengar
sehingga terkadang jawaban si pendengar tidak dapat merespon balik atau sering
juga terjadi si penutur mengulang kembali ujarannya dengan cara atau kalimat
yang lain supaya dapat di tanggapi pendengar seluruhnya. Gagasan yang ada dalam
otak penutur direalisasikan dalam bentuk kalimat-kalimat. Kalau tidak
pandai-pandai menyusun kalimat atau tidak pandai-pandai menanggapinnya maka
akan terjadi kesalahpahaman.
Contoh:
Ada dua orang teman berjumpa dan perjumpaan itu diceritakan
oleh salah satunya kekawan lainnya. Terjadilah percakapan berikut,
Nurul
: “Saya baru bertemu dengan si Janah.”
Halimah
: “Oh, si Janah kawan kita di SMA itu?”
Nurul
:
“Bukan, tapi Janah kawan kita waktu kuliah dulu.”
Halimah
: “Janah yang berambut panjang itu?”
Nurul
: “Bukan, bukan janah yang berambut panjang, tapi janah yang
Yang berjilbab itu loh?”
Halimah
: “Oh, ya, saya tahu.”
Pada
ujaran pertama Halimah salah tangkap. Yang tergambar dibenaknya adalah si Janah
teman SMA. Setelah diterangkan oleh Nurul bahwa Janah teman waktu kuliah,
Halimah salah tangkap lagi, karea yang diduga adalah Janah yang berambut
panjang. Sesudah kalimat ke tiga dari Nurul, barulah Halimah paham siapa si
Janah sebenarnya.
Walaupun
tanggapan tentang si Janah sudah jelas, akan tetapi apa yang dipikirkan oleh
Nurul tidaklah dapat ditanggapi seluruhnya oleh Halimah karena masih banyak hal
yang masih tersembunyi, misalnya kapan Nurul bertemunya, di mana
betemunya, berapa jam, dapat dikatakan bahwa yang ditanggapi pendengar dari
ucapan penutur itu hanya beberapa bagian saja dan tidak seluruhnya.
Unsur-unsur Konteks
Dalam
setiap interaksi verbal selalut terdapat beberapa factor (unsur) yang mengambil
peranan dalam peristiwa itu, misalnya partisipan (penutur dan mitra tutur),
pokok pembicaraan, tempat bicara, dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut
mendukung terwujudnya suatu wacana. Mengutip pendapat Hymes, Brown (1993:89)
menyebutkan bahwa komponen-komponen tutur yang merupakan ciri-ciri konteks, ada
delapan macam, yaitu penutur (addresser), pendengar (addressee), pokok
pembicaraan (topic), latar (setting), penghubung bahasa lisan dan tulisan (channel),
dialek/stailnya (code), bentuk pesan (message), dan peristiwa tutur (speech
event).
a. Penutur (addresser) dan Pendengar
(addressee)
Penutur dan pendengar yang terlibat dalam peristiwa tutur
disebut partisipan. Berkaitan dengan partisipan, yang perlu diperhatikan adalah
latar belakang (sosial, budaya, dan lain-lain). Mengetahui latar belakang
partisipan (penutur dan pendengar) pada suatu situasi akan memudahkan untuk
menginterpretasikan penuturnya. Makna wacana tertentu akan mempunyai makna yang
berbeda jika dituturkan oleh penuturyan yang berbeda latar belakang, minat, dan
perhatiannya. Perhatikan contoh di bawah ini.
Contoh:
Operasi harus segera diselenggarakan.
Maksud ujaran itu akan segera dapat dipahami manakala kita
tahu si penuturnya. Jika penuturnya seorang dokter, ujaran itu bermakna
‘pembedahan’; jika yang bertutur seorang ahli ekonomi, maknanya bisa jadi
‘dropping bahan makanan ke pasar’; jika yang berbicara penjahat, mungkin
artinya ‘ perampokan atau pencurian’; dan jika yang berbicara polisi, maknanya
berubah menjadi ‘razia’. Jadi makna wacana ditentukan oleh siapa pebuturnya. Di
samping itu, makna yang terkandung dalam wacana juga sangat bergantung pada
pendengarnya.
Contoh:
Kulitmu halus sekali
Jika ujaran itu diucapkan kepada anak perempuan berumur lima
tahun atau perempuan muda berumur dua puluh tahun atau seorang nenek yang
berumur tujuh puluh tahun, akan mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Kepada
anak berumur lima tahun aau gadis dua puluh empat tahun, mungkin ujaran itu dia
tafsirkan sebagai pujian sedangkan jika pendengarnya nenek berumur delapan
puluh tahun maka akan itafsirkan sebagai penghinaan.
b. Topik Pembicaraan
Dengan mengetahui topik pembicaraan, pendengar akan
sangat mudah memahami isi wacana, sebab topik pembicaraan yang berbeda
akan menghasilkan bentuk wacana yang berbeda pula. Di samping itu, partisipan
tutur akan menangkap dan memahami makna wacana berdasarkan topic yang sedang
dibicarakan.
Contoh:
Kata banting
Dalam sebuah wacana akan bervariatif maknanya, bergantung
pada topik pembicaraannya. Dalm bidang eonomi mungkin berarti’ kemurahan
harga’; jika topiknya olah raga yudo tentulah maknanya’mengangkat seseorang dan
menjatuhkannya dengan cepat’.
c. Latar Perstiwa
Faktor lain yang mempengaruhi makna wacana adalah latar
peristiwa. Latar peristiwa dapat berupa tempat, keadaan psikologis partisipan,
atau semua hal yang melatari terjadinya peristiwa tutur. Tempat lebih banyak
berpengaruh pada peristiwa tutur lisan tatap muka sedangkan keadaan psikologis
partisipan disamping berpengaruh pada peristiwa tutur lisan juga banyak
berpengaruh pada peristiw tutur tulis. Di pasar, orang akan menggunakan bahasa
dengan di msjid atau gereja;dala situasi resmi berbeda dengan situasi tidak
resmi.
Contoh:
1. Seorang pembeli di pasar
menawarbarang dengan menggunakan bentuk wacana resmi dan baku.
Wahai, Nona! Berapa gerangan harga
sekilo gula ini, Nona?
2. Seorang menteri ketika berpidato
dalam situasi resmi. Menyambut peringatan Hari Ibu, mengunakan bentuk wacana
sebagai berikut.
Sodara, Sodara! Sampean tau to, hari
ini hari ibu? Kalo nggak tahu, ya kebacut gitu aja. Wong sekarang kita
mempringatinya meskipun dalam situasi krismon.
d. Penghubung
Penghubung adalah medium yang dipakai untuk menyampaikan
topik tutur. Untuk menyampaikan informasi, seorang penutur dapat mepergunakan penghubung
dengan bahasa lisan atau tulisan. Ujaran lisan dapat dibedakan berdasarkan
sifat hubungan partisipan tutur, yaitu langsung dan tida langsung. Hubungan
langsung terjadi dalam dialog tanpa perantara sedangkan tidak langsung terjadi
denan perantara misalnya telepon. Di samping itu, ujaran lisan dapat pula
dibedakan menjadi ragam resmi dan tidak resmi.
Ujarn tulis merupakan sarana komunikai dengan menggunakan
tulisan sebagai perantaranya. Jenis sarana seperti ini dapat berwujud seperti
surat, pengumuman, undangan, dan sebagainya. Pemilihan penghubung tergantung
pada beberapa faktor, yaitu kepada siapa ia berbicara, dalam situasi bagaimana
(dekat atau jauh). Jika dekat tentu dapat secara lisan, tetapi jika jauh harus
secara tulisan.
e. Kode
Kode dapat dipilih antara salah satu dialek bahasa yang ada.
Atau bisa juga memakai salah satu register (ragam) bahasa yang paling tepat
dalam hal itu. Akanlah sangat ganjil jika ragam bahasa baku dipakai untuk
tawar-menawar barang di pasar. Juga terasa aneh jika ragam nonbaku dipakai
berkhotbah di masjid atau gereja.
f. Bentuk Pesan
Pesan yang hendak disampaikan haruslah tepat, karena bentuk
pesan bersifat fundamental dan penting. Banyak pesan yang tidak sampai kepada
pendengar karena. Jika pendengarnya bersifat umum dan dari berbagai lapisan
masyarakat maka harus dipilih bentuk pesan yang bersifat umum, sebaliknya jika
pendengarnya kelompok yang bersifat khusus atau hanya dari satu lapisan
masyarakat tertentu bentuk pesan haruslah bersifat khusus. Isi dan bentuk pesan
harus sesuai karena apabila keduanya tidak sesuai maka pesan atau informasi
yang disampaikan akan susah dicerna pendengar.
Contoh:
Menyampaikan informasi tentang ilmu pasti, harus berbeda
dengan menyampaikan uraian tentang sejarah.
g. Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur yang dimaksud disini adalah peristiwa tutur
tertentu yang mewadahi kegiatan bertutur. Misalnya pidato, sidang pengadadilan,
dan sebagainya. Hymes (1975:52) menyatakan bahwa peristiwa tutur sangat erat
hubungannya dengan latar peristiwa, dalam pengertian suatu peristiwa tutur
tertentu akan terjadi dalam konteks situasi tertentu. Sesuai dengan
konteksnsituasinya, suatu peristiwa tutur mungkin akan lebih tepat diantarkan
dengan bahasa yang satu sedangkan peristiwa tutur yang lain lebih cocok
diantarkan dengan bahasa yang lain. Peristiwa tutur tersebut dapat menentukan
bentuk dan isi wacana yang akan dihasilkan. Wacana yang dipersiapkan untuk
pidato akan berbeda bentuk dan isinya dengan wacana untuk seminar.
Rincian dalam Konteks
· Rincian ciri luar (fisik),
· Rincian emosional,
· Rincian perbutan, dan
· Rincian campuran.
1. Rincian Fisik (cirri luar)
Rincian ini dapat melibatkan ciri-ciri yang dimiliki oleh
manusia, benda, binatang secara fisik, atau ciri luar bagian tubuh yang
menonjol secara fisik.
Perhatikan contoh berikut ini.
a. Pria yang berkulit putih itu telah
menawan hatinya.
b. Pandangannya tertuju kepada
laki-laki yang tegap, berambut cepak, dengan dahi lebar.
c. Pemuda yang berbaju putih itu
sangat mengagumkan.
d. Saya yang mencari anak cantik
berkulit putih itu, ia adalah ponakan saya.
Unsur
yang menjadi cirri luar (fisik) sebagai upaca rincian dala konteks: pada (a)
‘berkulit putih’, pada (b)’ tegap’, ‘berambut cepak’, dan ‘dahi lebar’, pada
(c)’ berbaju putih’, dan pada (d) ‘cantik berkulit putih”.
2. Rincian Emosional
Rincian emosional berhubungan erat
dengan makna feeling di dalam semantik. Makna feeling (perasaan) berhubungan
dengan sikap pembicara dengan situasi pembicaraan (emosi).
Perhatikan contoh berikut.
a. Gadis cantik soleha itu sedang
membantu ibunya memasak.
b. Anak bandel itu, sekarang berteman
dengan anak-anak yang soleh.
c. Polisi galak itu sedang sakit,
jadi kami merasa kasihan kepada beliau.
d. Wanita liar itu nampak murung,
mendapat berita duka
Perhatikan upaya rincian emosional
yang terdapat pada (a) ‘cantik soleha’, pada (b) ‘bandel’, ‘soleh’, pada (c)
‘galak’, dan pada (d) ‘liar’, menerangkan pelaku yang diperjelas dengan rincian
emosional.
3. Rincian Perbuatan
Rincian perbuatan menyangkut upaya
ragam tindakan dilakukan atau dialami oleh pelaku atau pengalami di dalam
konteks wacana. Rincian perbuatan menunjukkan atau mengacu pada unsur
sebagai ciri acuan (orang, binatang, benda tertentu).
Perhatikan contoh berikut ini.
a. Laki-laki yang sedang berlari itu,
suami saya.
b. Wanita yang menyayi itu, anaknya
sudah sekolah dasar.
c.
Gadis remaja yang sedang membaca
itu, kemarin menjadi juara cerdas cermat.
d. Gadis yang sedang berdiri di samping
itu, senang bergurau dan rajin mebaca Al-Qur’an.
Upaya yang digunakan pada rincian
tersebut adalah: pada (a)’sedang berlari’, pada (b) ‘menyayi’, pada (c) ‘sedang
membaca’ dan pada (d) sedang berdiri’.
4. Rincian Campuran
Rincian campuran terjadi antara
rincian emosional dan perbuatn, fisik dan perbuatan, atau fisik dan emosional.
Upaya yang digunakan merupakan campuran dari rincian fisik, perbuatan, dan
emosional.
Perhatikan contoh berikut ini.
a.
Ida
yang cantik itu mengambil piring dari dapur, ia berbaju merah pada waktu itu, serta
kulitnya yang putih membuat dirinya nampak menarik. Gela situ diberikan kepada
temannya yang berbadan kekar seperti anggota TNI, tangannya gemetar saat
meletakkan piring diatas meja tadi
A.
Pengertian Kohesi
Kohesi adalah hubungan antarbagian dalam teks yang ditandai
penggunaan unsur bahasa. Konsep kohesi pada dasarnya mengacu kepada hubungan
bentuk, artinya unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk
menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh (Mulyana, 2005:
26). Contoh kohesi adalah sebagai berikut.
Listrik mempunyai banyak kegunaan. Orang tuaku berlangganan listrik
dari PLN. Baru-baru ini tarif pemakaian listrik naik 25%, sehingga banyak
masyarakat yang mengeluh. Akibatnya, banyak pelanggan listrik yang
melakukan penghematan. Jumlah peralatan yang menggunakan listrik sekarang
meningkat. Alat yang banyak menyedot listrik adalah AC atau alat
penyejuk udara. Di kantor-kantor sekarang penggunaan alat penyejuk udara itu
sudah biasa saja, bukan barang mewah.
Contoh wacana di atas dikatakan kohesif, karena
menggunakan alat kohesi pengulangan, misalnya listrik yang diulang beberapa
kali. Namun, paragraf tersebut tidak padu karena bagian-bagian paragraf itu
tidak mempunyai kepaduan secara maknawi.
B. Pengertian Koherensi
Koherensi adalah keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang
lainnya, sehingga kalimat memiliki kesatuan makna yang utuh (Brown dan Yule
dalam Mulyana, 2005: 30).
Contoh:
(a) Buah Apel ( Apple ) adalah salah
satu buah yang sangat tidak diragukan kelezatan rasanya. (b) Menurut beberapa
penelitian dibalik kelezatan dari rasa buah apel ternyata juga mengandung
banyak zat-zat yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh kita. (c) Untuk itu
sangatlah penting untuk mengkonsumsi buah apel. (d) Buah Apel memiliki kandungan vitamin,
mineral dan unsur lain seperti serat, fitokimian, baron, tanin, asam tartar,
dan lain sebagainya. (e) Dengan kandungan zat-zat tersebut buah apel memiliki
manfaat yang dapat mencegah dan menanggulangi berbagai penyakit. (f) Berikut
ini adalah beberapa manfaat buah apel bagi kesehatan yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber
yaitu buah apel dapat mencegah
penyakit asma, dapat mengurangi berat badan, melindungi tulang,
menurunkan kadar kolesterol, mencegah kanker hati, kanker paru-paru, kanker
payudara, kanker usus, mengontrol diabetes, membersihkan dan menyegarkan mulut.
Bagian-bagian pada wacana di atas saling mempunyai kaitan secara maknawi,
kalimat di atas menjelaskan secara rinci zat-zat dan manfaat yang terkandung
dalam buah apel. Wacana itu termasuk wacana padu karena hampir setiap kalimat
berhubungan padu secara maknawi dengan bagian lain. Selain itu, wacana itu juga
kohesif. Ada beberapa kata yang diulang (buah apel pada setiap kalimat).
Jadi, wacana itu harus kohesif dan dan koherensif. Bahkan keterpaduanlah
(koherensi) yang harus diutamakan.
Pengertian
Topik
Topik (bahasa Yunani : topoi) adalah inti
utama dari seluruh isi tulisan yang hendak disampaikan atau lebih dikenal
dengan dengan topik pembicaraan. Topik adalah hal yang pertama kali ditentukan
ketika penulis akan membuat tulisan.
Topik yang masih awal tersebut, selanjutnya dikembangkan dengan membuat
cakupan yang lebih sempit atau lebih luas. Terdapat beberapa kriteria untuk
sebuah topik yang dikatakan baik, diantaranya adalah topik tersebut harus
mencakup keseluruhan isi tulisan, yakni mampu menjawab pertanyaan akan masalah
apa yang hendak ditulis. Ciri utama dari topik adalah cakupannya atas suatu
permasalahan msih bersifat umum dan belum diuraikan secara lebih mendetail.
Topik biasa terdiri dari satu satu dua kata
yang singkat, dan memiliki persamaan serta perbedaan dengan tema karangan.
Persamaannya adalah baik topik maupun tema keduanya samasama dapat dijadikan
sebagai judul karangan. Sedangkan, perbedaannya ialah topik masih mengandung
hal yang umum, sementara tema akan lebih spesifik dan lebih terarah dalam
membahas suatu permasalahan.
Cara
Membatasi Topik
Cara
membatasi sebuah topik dapat dilakukan dengan mempergunakan cara sebagai
berikut :
1. Tetapkanlah topik yang akan
digarap dalam kedudukan sentral.
2. Mengajukan pertanyaan,
apakah topik yang berada dalam kedudukan sentral itu masih dapat dirinci lebih
lanjut? Bila dapat, tempatkanlah rincian itu sekitar lingkaran topik pertama
tadi.
3. Tetapkanlah dari rincian
tadi mana yang akan dipilih.
4. Mengajukan pertanyaan
apakah sektor tadi masih dapat dirinci lebih lanjut atau tidak.
Ciri-ciri
topik
1. Topik harus menarik
perhatian si pembaca, sehingga mampu menimbulkan rasa keingintahuan pembaca.
2. Mencakup keseluruhan isi
cerita.
Sumber
Topik
Tak jarang seorang penulis bingung saat
menentukan apa yang hendak ia tulis, rasanya semua menarik dan banyak yang
sudah ditulis orang sebenarnya banyak hal yang dapat dijadikan topik tulisan.
Untuk membantu menentukan topik, seperti yang disampaikan Wayne N. Thompson
dalam Rakhmat (1999:20), seorang penulis daat menemukan sumber topik dengan
cara sebagai berikut.
1. Pengalaman Pribadi
a. Perjalanan
b. Tempat yang pernah
dikunjungi
c. Kelompok Anda
d. Wawancara dengan tokoh
e. Kejadian luar biasa
f.
Peristiwa
lucu
2. Hobi dan Keterampilan
a. Cara melakukan sesuatu
b. Cara kerja sesuatu
3. Pengalaman Pekerjaan atau
Profesi
a. Pekerjaan tambahan
b. Profesi keluarga
4. Pelajaran Sekolah/Kuliah
a. Hasil-hasil penelitian
b. Hal-hal yang perlu diteliti
lebih lanjut
5. Pendapat pribadi
a. Kritik terhadap buku, film,
puisi, pidato, iklan, siaran radio /televisi
b. Hasil pengamatan pribadi
6. PeristiwaHangat dan
Pembicaraan publik
a. Berita halaman muka surat
kabar
b. Topik tajuk rencana
c. Artikel
d. Materi kuliah
e. Penemuan mutakhir
7. Masalah Abadi
a. Agama
b. Pendidikan
c. Sosial dan masyarakat
d. Problem pribadi
8. Kilasan Biografi
a. Orang-orang terkenal
b. Orang-orang berjasa
9. Kejadian khusus
a. Perayaan atau peringatan
b. Peristiwa yang
eratkaitannya dengan perayaan
10. Minat Khalayak
a. Pekerjaan
b. Hobi
c. Rumah tangga
d. Pengembangan diri
e. Kesehatan dan penampilan
f.
Tambahan
ilmu
g. Minat khusus
Pembatasan
Topik
Topik adalah segala yang ingin dibahas. Ini
berarti, penulis sudah memilih apa yang akan menjadi pokok pembicaraan dalam
tulisan tersebut. Menurut Sabarti Akhadiah (1994: 211), ada lima hal yang perlu
diperhatikan dalam memilih topik:
1. ada manfaatnya untuk perkembangan ilmu
atau profesi
2. cukup menarik untuk dibahas
3. dikenal dengan baik
4. bahannya mudah diperoleh
5. tidak terlalu luas dan tidak terlalu
sempit
Keraf (1979: 113) merumuskan kiat pembatasan
topik adalah dengan langkah sebagai berikut: Pertama, tetapkan topik yang ingin
dibahas dalam suatu kedudukan sentral. Kedua, ajukanlah pertanyaan, apakah
topik yang berada dalam kedudukan sentral itu masih dapat diperinci lebih
lanjut atau tidak. Bila dapat, tempatkanlah perincian itu di sekitar lingkaran
topik pertama tadi. Ketiga, tetapkanlah yang mana dari perincian tadi yang akan
dipilih. Keempat, ajukanlah pertanyaan apakah sektor tadi masih perlu diperinci
lebih lanjut atau tidak. Demikian dilakukan berulang sampai diperoleh topik
yang sangat khusus.
Pengertian
Tema
Tema bisa diartikan dar dua sudut pandang,
yaitu tema yang dilihat setelah karya selesai dibaca dan tema yang ada sebelum
karya dibuat. Pengertian tema yang dilihat setelah karya selesai dibaca
merupakan sebuah amanat atau pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Lain
halnya dengan pengertian tema yang ada sebelum karya dibuat. Tema yang dimaksud
adalah suatu perumusan dari topik yang dibuat menjadi sebuah landasan
pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai.
Tema merupakan suatu gagasan pokok atau ide
pikiran dalam membuat suatu tulisan. Di setiap tulisan pastilah mempunyai
sebuah tema, karena dalam sebuah penulisan dianjurkan harus memikirkan tema apa
yang akan dibuat. Dalam menulis cerpen,puisi,novel,karya tulis, dan berbagai
macam jenis tulisan haruslah memiliki sebuah tema. Jadi jika diandaikan seperti
sebuah rumah, tema adalah atapnya. Tema juga hal yang paling utama dilihat oleh
para pembaca sebuah tulisan.
Perhatikan
contoh dibawah ini.
Topik:
Belajar mengemukakan pendapat secara efektif.
Tujuan:Menjelaskan
dan memahami bagaimana cara mengeluarkan pendapat secara lisan,tertulis, logis,
dan sistematis dalam bahasa yang baik secara efektif dan efisien.
Perumusan
tema hendaknya memperhatikan hal-hal berikut :
1. Kejelasan,tema hendaknya
dirumuskan dengan kalimat yang jelas,tidak berbelit-belit.
2. Kesatuan tema yang baik
adalah tema yang memiliki satu gagasan sentral.Sentralisasi gagasan ditandai
oleh jumlah masalah pokok yang hendak digarap penulis.
3. Keaslian (originalitas),
hal ini penting untuk menciptakan kesegaran dan daya tarik karangan.
Ciri-ciri
tema:
1. Dalam novel dan cerpen,
tema biasanya dapat dilihat melalui persoalan yang dikemukakan.
2. Tema juga dapat dilihat
melalui cara-cara watak itu bertentangan satu sama lain, bagaimana cerita
diselesaikan.
3. Tema dapat dikesan melalui
peristiwa, kisah, suasana dan unsur lain seperti nilai kemanusiaan yang
terdapat dalam cerita, plot cerita, perwatakan watak-watak dalam sebuah cerita.
Syarat
Tema yang Baik
1. Tema menarik perhatian
penulis.
Tema yang menarik perhatian penulis akan
memungkinkan penulis berusaha terus- menerus mencari data untuk memecahakan
masalah-masalah yang dihadapi, penulis akan didorong terus-menerus agar dapat
menyelesaikan karya tulis itu sebaik-baiknya.
2. Tema dikenal/diketahui
dengan baik.
Maksudnya bahwa sekurang-kurangnya
prinsip-prinsip ilmiah diketahui oleh penulis. Berdasarkan prinsip ilmiah yang
diketahuinya, penulis akan berusaha sekuat tenaga mencari data melalui
penelitian, observasi, wawancara, dan sebagainya sehingga pengetahuannya
mengenai masalah itu bertambah dalam. Dalam keadaan demikian, disertai
pengetahuan teknis ilmiah dan teori ilmiah yang dikuasainya sebagai latar
belakang masalah tadi, maka ia sanggup menguraikan tema itu sebaik-baiknya.
3. Bahan-bahannya dapat
diperoleh.
Sebuh tema yang baik harus dapat dipikirkan
apakah bahannya cukup tersedia di sekitar kita atau tidak. Bila cukup tersedia,
hal ini memungkinkan penulis untuk dapat memperolehnya kemudian mempelajari dan
menguasai sepenuhnya.
4. Tema dibatasi ruang
lingkupnya.
Tema yang terlampau umum dan luas yang
mungkin belum cukup kemampuannya untuk menggarapnya akan lebih bijaksana kalau
dibatasi ruang lingkupnya.
Puisi Sudut Kelas
suatu yang tak
terbayangkan
dalam renungan sepi dan kusam
terhinggapi lorong ruang tak bertuan
dinding yang bisu
kursi dan meja yang lesu
sepi menanti guru
gaduh . .
Namun jiwa tetap layu
di sudut kelas bercat biru
lamunan kadang melayang
kadang hinggap dalam fikiran
namun sepi waktu
meninggalku di sudut kelas ini
tanpa sahabat
tanpa kawan
melawan waktu hingga bel berbunyi
dalam renungan sepi dan kusam
terhinggapi lorong ruang tak bertuan
dinding yang bisu
kursi dan meja yang lesu
sepi menanti guru
gaduh . .
Namun jiwa tetap layu
di sudut kelas bercat biru
lamunan kadang melayang
kadang hinggap dalam fikiran
namun sepi waktu
meninggalku di sudut kelas ini
tanpa sahabat
tanpa kawan
melawan waktu hingga bel berbunyi
No comments:
Post a Comment