Thursday, March 13, 2014

wacana



A. Pengertian Wacana

Wacana berasal dari bahasa Inggris discourse, yang artinya antara lain ”Kemampuan untuk maju menurut urutan-urutan yang teratur dan semestinya.” Pengertian lain, yaitu ”Komunikasi buah pikiran, baik lisan maupun tulisan, yang resmi dan teratur.” Jadi, wacana dapat diartikan adalah sebuah tulisan yang teratur menurut urut-urutan yang semestinya atau logis. (Pengertian wacana dan wacana naratif: Linarfad).

Selain pengertian di atas istilah “wacana” juga dapat diartikan, yakni wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/ wak/ vak, artinya berkata, berucap ( Douglas, 1967:266). Bila dilihat dari jenisnya, kata wac dalam morfologi bahasa Sansekerta, termasuk kata kerja golongan III parasmaepada (m) yang bersifat aktif, yaitu ‘melakukan tindakan ujar’. Kata tersebut kemudian mengalami perubahan menjadi wacana. Bentuk ana yang muncul di belakang adalah sufiks ( akhiran) yang bermakna membedakan (nominalisasi). Jadi, kata wacana dapat diartikan sebagai perkataan atau tuturan. (Cenya: Arti Wacana).

 Ruang Lingkup Wacana /Objek Kajian Wacana
Yang menjadi objek kajian dalam wacana adalah unit bahasa di atas kalimat atau ujaran yang memiliki kesatuan makna dan konteks, bisa berupa naskah pidato, rekaman percakapan yang tellah diobjekkan, percakapan langsung,catatan, debat, cerama yang tidak artificial atau yang memang eksis dalam kehidupan sehari-hari.  Analisis wacana harus menelusuri lebih jauh ke dalam unit-unit bahasa  guna menangkap hal-hal yang tak tampak oleh analisis kebahasaan atau analisis gramatika biasa. analisis wacana berbeda dengan analisis gramatika yang hanya menelusuri lapisan terluar dari bahasa.
         3.         Jenis-Jenis Wacana
jenis-jenis wacana dapat dilihat dari berbagai segi seperti wacana dari segi media komunikasinya, wacana dari segi jumlah peserta yang terlibat dalamnya, dan wacana berdasarkan cara penyampaian isinya.
         a.       Wacana berdasarkan media komunikasi
        1)      Wacana lisan
Wacana lisan adalah wacana yang disampaikan secara lisan dan langsung dengan bahasa verbal. Wacana lisan sering juga disebut tuturan atau ujaran.
        2)      Wacana tulis
Wacana tulis yaitu jenis wacana yang disampaikan secara tertulis melalui berbagai media tulis.
         b.      Wacana berdasarkan jumlah peserta yang terlibat di dalamnya
        1)      Wacana monolog
Wacana monolog adalah wacana yang dituturkan oleh satu orang.
        2)      Wacana dialog
Wacana dialog adalah wacana yang dituturkan oleh dua orang atau lebih.
        3)      Wacana polilog
Wacana polilog adalah wacana yang dituturkanoleh beberapa orang.

       c.       Berdasarkan cara penyampaian isinya
       1)      Wacana narasi
Wacana narasi adalah wacana  yang disampaikan dalam bentuk cerita.
       2)      Wacana deskripsi
Wacana deskripsi adalah bentuk wacana yang menggalbarkan suatu keadaan,kejadian atau peristiwa dengan sejelas mungkin sehingga pembaca mendapat kesan seperti melihat sendiri  kejadian tersebut.
       3)      Wacana eksposisi
       4)      Wacana persuasi
Wacana eksposisi adalah bentuk wacana yang bermaksud menjelaskan, mengembangkan atau menegaskan suatu gagasan.
      5)      Wacana argumentasi
       Wacana argumentasi adalah jenis wacana yang berusaha meyakinkan atau membuktikan kebenaran suatu pernyataan,sikap, pendapat atau keyakinan.
















KONTEKS WACANA
Menurut Halliday dan Hassan (1985:5), yang dimaksud dengan konteks wacana adalah teks yang meyertai teks lain. Menurut kedua penulis itu, pengertian hal yang menyertai teks itu meliputi tidak hanya yang dilisankan dan dituliskan, tetapi termasuk pula kejadian yang nonverbal lainnya keseluruhan lingkungan teks itu.
Menurut Brown dan Yule (1983) menganalisis wacana semestinya menggunakan pendekatan pragmatis untuk memahami pemakaian bahasa. Misalnya, penganalisis wacana haruslah mempertimbankan konteks tempat terdapatnya bagian sebuah wacana. Beberapa unsur bahasa yang paling jelas memerlukan informasi kontekstual adalah bentuk-bentuk deiktis, seperti di sini, sekaran, saya, kamu, ini, dan itu. Untuk menafsirkan bentuk-bentuk deiktis itu, analisis wacana bahasa Indonesia perlu mengetahui siapa penutur dan pendengarnya, waktu dan tempat ujaran itu. Berikut ini adalah beberapa konsep yang berkaitan dengan konteks wacana, antara lain:
         ·         Praaggapan (presupposition),
         ·         Implikatur,
         ·         Missing link inference,
         ·         Informasi lama dan baru.

       1.      Praaggapan (Presupposition)
Menurut  Filmore (1981), dalam setiap percakapan selalu digunakan tingkatan-tingkatan komunikasi yang implisit atau praaggapan dan eksplisit dan ilokusi. Sebagai contoh, ujaran dapat dinilai tidak tidak relevan atau salah bukan hanya dilihat dari segi cara pengungkapan pistiwa yang salah pendeskripsiannya, tetapi juga pada cara membuat peranggapan yang salah.

Kesalahan membuat praanggapan mempunyai efek dalam ujaran manusia. Dengan kata lain, praanggapan yang tepat dapat memprtinggi nilai komunikatif sebuah ujaran yang diungkakan. Makin tepat praanggapan yang dihipotesiskan, makin tinggi nilai komunikasi suatu ujaran. Dalam beberapa hal, makna wacana dapat dicari melalui praaggapan, namun disisi lain terdapat makna yang tidak dinyatakan secara eksplisit.



Contoh:
       (1)   Ibu saya dating dari Samarinda
Dalam contoh (1) praanggapan adalah: (1) saya mempunyai ibu; (2) Ibu ada di Samarinda. Oleh krena itu, fungsi praanggapan ialah membantu mengurangi hambatan respon orang terhadap penafsiran suatu ujaran.
Menurut Leech (1981:288), praanggapan haruslah dianggap sebagai dasar kelancaran wacana yang komunikatif. Apabila dua orang terlibat dalam suatu percakapan, mereka saling mengisi latar belakang pengetahuan yang bukan pengetahuan terhadap situasi pada waktu itu, tetapi pengetahuan terhadap dunia pada umumnya. Begitu percakapan berlanjut, konteksnya berlanjut dalam arti unsur-unsurnya bertambah. Berikut ini adalah contoh yang diikuti dengan dasar yang berbeda.
Contoh:
       (1)   Ani menanggis sebelum dia dapat  menyelesaikan pekerjaan tangannya.
       (2)   Ani meninggal sebelum dia dapat menyelesaikan pekerjaan tangannya.
Dalm ujarn (1) praanggapan yang timbul adalah bahwa Ani dapat menyelesaikan pekerjaan tangannya, sedangkan dalam (2) Hal itu diketahui berdasarkan penetahuan tentang dunia. Seseorang yang sudah meninggal tidak mungkin lagi melakukan sesuatu. Jadi, apabila (2) dikembangkan dan didapati bahwa Ani dapat menyelesaikan pekerjaan tangganya, kedua ujaran tersebut tidak sesuai.

      2.      Implikatur
Konsep implikatur kali pertama dikenalkan oleh H.P.Grice (1975) untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule, 1983:31).
Contoh:
Bersih di sini bukan?(ujaran)
Maka secara implisit penutur menghendaki agar ruangan tersebut dibersihkan.

Menurut Grice (1975), dalam pemakaian bahasa terdapat implikatur yang disebut implikatur konvensional, yaitu implikatur yang ditentukan oleh arti konvensional kata-kata yang dipakai.

Contoh:
      (1)   Dia orang Jawa karena itu dia rajin.
Pada contoh (1) tersebut, penutur tidak secara langsung menyatakan bahwa suatu ciri (rajin) disebabkan oleh ciri lain (jadi orang Jawa), tetapi bentuk ungkapan yang dipakai secara konvensional berimplikasi bahwa hubungan seperti itu ada. Kalau individu yang dimaksud itu orang Jawa dan tidak rajin, implikaturnya yang keliru, tetapi ujarannya tida salah. Contoh lain kata pria, kata’ pria’ tentu mengimplikasikan mempunyai rambut, hidung, atau bibir sehingga hunbungan antarkalimat pada contoh dibawah ini bersifat koheren, meskipun tanpa kalimat Pria itu mempunyi rambut, hidung, dan bibir.

Grice (1975), Implikatur percakapan itu mengutip prinsip kerjasama atu kesepakatan bersama, yakni kesepakatan bahwa hal yang dibicarakan oleh partisipan harus saling berkait. Grice (1975:45) mengemukakan prinsip kerjasama sebagai berikut:
Berikanlah sumbangan Anda pada percakapan sebagaimana yang diperlukan sesuai dengan tujuan atau arah pertukaran pembicaraan yang Anda terlibat didalamnya.
 Dengan prinsip umum tersebut, dalam perujaran, para penutur disarankan untuk menyampaikan ujaran sesuai dengan konteks terjadinya peristiwa tutur, tujuan tutur, dan giliran tutur yang ada. Dalam penerapannya, prinsip kerjasama tersebut ditopang olehseperangkat asumsi yang disebut prinsip-prinsip percakapan (maxims of conversation), yaitu:
       ·         Prinsip kuantitas,
       ·         Prinsip kualitas,
       ·         Prinsip hubungan,dan
       ·         Prinsip cara.

       a.       Prinsip Kuantitas
Berikan sumbangan anda seinformatif yang diperlukan, jangan memberikan sumbangan informasi melebihi yang dibutuhkan.
       b.      Prinsip Kualitas
Jangan mengatakan sesuatu yang anda yakini tidak benar dan jangan mengatakan sesuatu yang bukti kebenarannya kurang meyakinkan.
       c.       Prinsip Hubungan
Usahakan perkataan anda ada  relevansinya.
       d.      Prinsip Cara
Hindari pernyataan-pernyatan yang samar, usahakan agar ringkas, dan usahakan berbicara dengan teratur.

       3.      Inferensi
Inferensi atau penarikan simpulan dikatakan oleh Gumperz (1982) sebagai proses interpretasi yang ditentukan oleh situai dan konteks percakapan. Dengan inferensi pendengar menduga kemauan penutur dan dengan itu pula, pendengar
meresponya.
Sering terjadi apa yang dimaksud penutur tidak sama dengan apa yang dianggap pendengar sehingga terkadang jawaban si pendengar tidak dapat merespon balik atau sering juga terjadi si penutur mengulang kembali ujarannya dengan cara atau kalimat yang lain supaya dapat di tanggapi pendengar seluruhnya. Gagasan yang ada dalam otak penutur direalisasikan dalam bentuk kalimat-kalimat. Kalau tidak pandai-pandai menyusun kalimat atau tidak pandai-pandai menanggapinnya maka akan terjadi kesalahpahaman.
Contoh:
Ada dua orang teman berjumpa dan perjumpaan itu diceritakan oleh salah satunya kekawan lainnya. Terjadilah percakapan berikut,
Nurul               : “Saya baru bertemu dengan si Janah.”
Halimah           :  “Oh, si Janah kawan kita di SMA itu?”
Nurul               :  “Bukan, tapi Janah kawan kita waktu kuliah dulu.”
Halimah           :  “Janah yang berambut panjang itu?”
Nurul               :  “Bukan, bukan janah yang berambut panjang, tapi janah yang
                            Yang berjilbab itu loh?”
Halimah           :  “Oh, ya, saya tahu.”
Pada ujaran pertama Halimah salah tangkap. Yang tergambar dibenaknya adalah si Janah teman SMA. Setelah diterangkan oleh Nurul bahwa Janah teman waktu kuliah, Halimah salah tangkap lagi, karea yang diduga adalah Janah yang berambut panjang. Sesudah kalimat ke tiga dari Nurul, barulah Halimah paham siapa si Janah sebenarnya.
Walaupun tanggapan tentang si Janah sudah jelas, akan tetapi apa yang dipikirkan oleh Nurul tidaklah dapat ditanggapi seluruhnya oleh Halimah karena masih banyak hal yang masih  tersembunyi, misalnya kapan Nurul bertemunya, di mana betemunya, berapa jam, dapat dikatakan bahwa yang ditanggapi pendengar dari ucapan penutur itu hanya beberapa bagian saja dan tidak seluruhnya.

Unsur-unsur Konteks
Dalam setiap interaksi verbal selalut terdapat beberapa factor (unsur) yang mengambil peranan dalam peristiwa itu, misalnya partisipan (penutur dan mitra tutur), pokok pembicaraan, tempat bicara, dan lain-lain. Faktor-faktor tersebut mendukung terwujudnya suatu wacana. Mengutip pendapat Hymes, Brown (1993:89) menyebutkan bahwa komponen-komponen tutur yang merupakan ciri-ciri konteks, ada delapan macam, yaitu penutur (addresser), pendengar (addressee), pokok pembicaraan (topic), latar (setting), penghubung bahasa lisan dan tulisan (channel), dialek/stailnya (code), bentuk pesan (message), dan peristiwa tutur (speech event).
       a.       Penutur (addresser) dan Pendengar (addressee)
Penutur dan pendengar yang terlibat dalam peristiwa tutur disebut partisipan. Berkaitan dengan partisipan, yang perlu diperhatikan adalah latar belakang (sosial, budaya, dan lain-lain). Mengetahui latar belakang partisipan (penutur dan pendengar) pada suatu situasi akan memudahkan untuk menginterpretasikan penuturnya. Makna wacana tertentu akan mempunyai makna yang berbeda jika dituturkan oleh penuturyan yang berbeda latar belakang, minat, dan perhatiannya. Perhatikan contoh di bawah ini.
Contoh:
                  Operasi harus segera diselenggarakan.

Maksud ujaran itu akan segera dapat dipahami manakala kita tahu si penuturnya. Jika penuturnya seorang dokter, ujaran itu bermakna ‘pembedahan’; jika yang bertutur seorang ahli ekonomi, maknanya bisa jadi ‘dropping bahan makanan ke pasar’; jika yang berbicara penjahat, mungkin artinya ‘ perampokan atau pencurian’; dan jika yang berbicara polisi, maknanya berubah menjadi ‘razia’. Jadi makna wacana ditentukan oleh siapa pebuturnya. Di samping itu, makna yang terkandung dalam wacana juga sangat bergantung pada pendengarnya.

Contoh:
                  Kulitmu halus sekali
Jika ujaran itu diucapkan kepada anak perempuan berumur lima tahun atau perempuan muda berumur dua puluh tahun atau seorang nenek yang berumur tujuh puluh tahun, akan mempunyai pengertian yang berbeda-beda. Kepada anak berumur lima tahun aau gadis dua puluh empat tahun, mungkin ujaran itu dia tafsirkan sebagai pujian sedangkan jika pendengarnya nenek berumur delapan puluh tahun maka akan itafsirkan sebagai penghinaan.

       b.      Topik Pembicaraan
Dengan mengetahui topik  pembicaraan, pendengar akan sangat mudah memahami isi  wacana, sebab topik pembicaraan yang berbeda akan menghasilkan bentuk wacana yang berbeda pula. Di samping itu, partisipan tutur akan menangkap dan memahami makna wacana berdasarkan topic yang sedang dibicarakan.
Contoh:
                  Kata banting                                                                                
Dalam sebuah wacana akan bervariatif maknanya, bergantung pada topik pembicaraannya. Dalm bidang eonomi mungkin berarti’ kemurahan harga’; jika topiknya olah raga yudo tentulah maknanya’mengangkat seseorang dan menjatuhkannya dengan cepat’.

       c.       Latar Perstiwa
Faktor lain yang mempengaruhi makna wacana adalah latar peristiwa. Latar peristiwa dapat berupa tempat, keadaan psikologis partisipan, atau semua hal yang melatari terjadinya peristiwa tutur. Tempat lebih banyak berpengaruh pada peristiwa tutur lisan tatap muka sedangkan keadaan psikologis partisipan disamping berpengaruh pada peristiwa tutur  lisan juga banyak berpengaruh pada peristiw tutur tulis. Di pasar, orang akan menggunakan bahasa dengan di msjid atau gereja;dala situasi resmi berbeda dengan situasi tidak resmi.
Contoh:
      1.      Seorang pembeli di pasar menawarbarang dengan menggunakan bentuk wacana resmi dan baku.
Wahai, Nona! Berapa gerangan harga sekilo gula ini, Nona?
      2.      Seorang menteri ketika berpidato dalam situasi resmi. Menyambut peringatan Hari Ibu, mengunakan bentuk wacana sebagai berikut.
Sodara, Sodara! Sampean tau to, hari ini hari ibu? Kalo nggak tahu, ya kebacut gitu aja. Wong sekarang kita mempringatinya meskipun dalam situasi krismon.

       d.      Penghubung
Penghubung adalah medium yang dipakai untuk menyampaikan topik tutur. Untuk menyampaikan informasi, seorang penutur dapat mepergunakan penghubung dengan bahasa lisan atau tulisan. Ujaran lisan dapat dibedakan berdasarkan sifat hubungan partisipan tutur, yaitu langsung dan tida langsung. Hubungan langsung terjadi dalam dialog tanpa perantara sedangkan tidak langsung terjadi denan perantara misalnya telepon. Di samping itu, ujaran lisan dapat pula dibedakan menjadi  ragam resmi dan tidak resmi.
Ujarn tulis merupakan sarana komunikai dengan menggunakan tulisan sebagai perantaranya. Jenis sarana seperti ini dapat berwujud seperti surat, pengumuman, undangan, dan sebagainya. Pemilihan penghubung tergantung pada beberapa faktor, yaitu kepada siapa ia berbicara, dalam situasi bagaimana (dekat atau jauh). Jika dekat tentu dapat secara lisan, tetapi jika jauh harus secara tulisan.

       e.       Kode
Kode dapat dipilih antara salah satu dialek bahasa yang ada. Atau bisa juga memakai salah satu register (ragam) bahasa yang paling tepat dalam hal itu. Akanlah sangat ganjil jika ragam bahasa baku dipakai untuk tawar-menawar barang di pasar. Juga terasa aneh jika ragam nonbaku dipakai berkhotbah di masjid atau gereja.

       f.       Bentuk Pesan
Pesan yang hendak disampaikan haruslah tepat, karena bentuk pesan bersifat fundamental dan penting. Banyak pesan yang tidak sampai kepada pendengar karena. Jika pendengarnya bersifat umum dan dari berbagai lapisan masyarakat maka harus dipilih bentuk pesan yang bersifat umum, sebaliknya jika pendengarnya kelompok yang bersifat khusus atau hanya dari satu lapisan masyarakat tertentu bentuk pesan haruslah bersifat khusus. Isi dan bentuk pesan harus sesuai karena apabila keduanya tidak sesuai maka pesan atau informasi yang disampaikan akan susah dicerna pendengar.
Contoh:
Menyampaikan informasi tentang ilmu pasti, harus berbeda dengan menyampaikan uraian tentang sejarah.

       g.      Peristiwa Tutur
Peristiwa tutur yang dimaksud disini adalah peristiwa tutur tertentu yang mewadahi kegiatan bertutur. Misalnya pidato, sidang pengadadilan, dan sebagainya. Hymes (1975:52) menyatakan bahwa peristiwa tutur sangat erat hubungannya dengan latar peristiwa, dalam pengertian suatu peristiwa tutur tertentu akan terjadi dalam konteks situasi tertentu. Sesuai dengan konteksnsituasinya, suatu peristiwa tutur mungkin akan lebih tepat diantarkan dengan bahasa yang satu sedangkan peristiwa tutur yang lain lebih cocok diantarkan dengan bahasa yang lain. Peristiwa tutur tersebut dapat menentukan bentuk dan isi wacana yang akan dihasilkan. Wacana yang dipersiapkan untuk pidato akan berbeda bentuk dan isinya dengan wacana untuk seminar.

Rincian dalam Konteks
       ·         Rincian ciri luar (fisik),
       ·         Rincian emosional,
       ·         Rincian perbutan, dan
       ·         Rincian campuran.
      1.      Rincian Fisik (cirri luar)
Rincian ini dapat melibatkan ciri-ciri yang dimiliki oleh manusia, benda, binatang secara fisik, atau ciri luar bagian tubuh yang menonjol secara fisik.
Perhatikan contoh berikut ini.
       a.       Pria yang berkulit putih itu telah menawan hatinya.
       b.      Pandangannya tertuju kepada laki-laki yang tegap, berambut cepak, dengan dahi lebar.
       c.       Pemuda yang berbaju putih itu  sangat mengagumkan.
       d.      Saya yang mencari anak cantik berkulit putih itu, ia adalah ponakan saya.
Unsur yang menjadi cirri luar (fisik) sebagai upaca rincian dala konteks: pada (a) ‘berkulit putih’, pada (b)’ tegap’, ‘berambut cepak’, dan ‘dahi lebar’, pada (c)’ berbaju putih’, dan pada (d) ‘cantik berkulit putih”.
       2.      Rincian Emosional
Rincian emosional berhubungan erat dengan makna feeling di dalam semantik. Makna feeling (perasaan) berhubungan dengan sikap pembicara dengan situasi pembicaraan (emosi).
Perhatikan contoh berikut.
       a.       Gadis cantik soleha itu sedang membantu ibunya memasak.
       b.      Anak bandel itu, sekarang berteman dengan anak-anak yang soleh.
       c.       Polisi  galak itu sedang sakit, jadi kami merasa kasihan kepada beliau.
       d.      Wanita liar itu nampak murung, mendapat berita duka

Perhatikan upaya rincian emosional yang terdapat pada (a) ‘cantik soleha’, pada (b) ‘bandel’, ‘soleh’, pada (c) ‘galak’, dan pada (d) ‘liar’, menerangkan pelaku yang diperjelas dengan rincian emosional.

       3.      Rincian Perbuatan
Rincian perbuatan menyangkut upaya ragam tindakan dilakukan atau dialami oleh pelaku atau pengalami di dalam konteks wacana. Rincian perbuatan menunjukkan atau mengacu pada unsur  sebagai ciri acuan (orang, binatang, benda tertentu).
Perhatikan contoh berikut ini.
        a.       Laki-laki yang sedang berlari itu, suami saya.
        b.      Wanita yang menyayi itu, anaknya sudah sekolah dasar.
        c.       Gadis remaja yang sedang membaca itu, kemarin menjadi juara cerdas cermat.
        d.      Gadis yang sedang berdiri di samping itu, senang bergurau dan rajin mebaca Al-Qur’an.

Upaya yang digunakan pada rincian tersebut adalah: pada (a)’sedang berlari’, pada (b) ‘menyayi’, pada (c) ‘sedang membaca’ dan pada (d) sedang berdiri’.



       4.      Rincian Campuran
Rincian campuran terjadi antara rincian emosional dan perbuatn, fisik dan perbuatan, atau fisik dan emosional. Upaya yang digunakan merupakan campuran dari rincian fisik, perbuatan, dan emosional.
Perhatikan contoh berikut ini.
a.       Ida yang cantik itu mengambil piring dari dapur, ia berbaju merah pada waktu itu, serta kulitnya yang putih membuat dirinya nampak menarik. Gela situ diberikan kepada temannya yang berbadan kekar seperti anggota TNI, tangannya gemetar saat meletakkan piring diatas meja tadi

       A.    Pengertian Kohesi
         Kohesi adalah hubungan antarbagian dalam teks yang ditandai penggunaan unsur bahasa. Konsep kohesi pada dasarnya mengacu kepada hubungan bentuk, artinya unsur-unsur wacana (kata atau kalimat) yang digunakan untuk menyusun suatu wacana memiliki keterkaitan secara padu dan utuh (Mulyana, 2005: 26). Contoh kohesi adalah sebagai berikut.
Listrik mempunyai banyak kegunaan. Orang tuaku berlangganan listrik dari PLN. Baru-baru ini tarif pemakaian listrik naik 25%, sehingga banyak masyarakat yang mengeluh. Akibatnya, banyak pelanggan listrik yang melakukan penghematan. Jumlah peralatan yang menggunakan listrik sekarang meningkat. Alat yang banyak menyedot listrik adalah AC atau alat penyejuk udara. Di kantor-kantor sekarang penggunaan alat penyejuk udara itu sudah biasa saja, bukan barang mewah.
Contoh wacana di atas dikatakan kohesif, karena menggunakan alat kohesi pengulangan, misalnya listrik yang diulang beberapa kali. Namun, paragraf tersebut tidak padu karena bagian-bagian paragraf itu tidak mempunyai kepaduan secara maknawi.

       B.  Pengertian Koherensi
      Koherensi adalah keterkaitan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya, sehingga kalimat memiliki kesatuan makna yang utuh (Brown dan Yule dalam Mulyana, 2005: 30).
Contoh:

       (a)    Buah Apel ( Apple ) adalah salah satu buah yang sangat tidak diragukan kelezatan rasanya. (b) Menurut beberapa penelitian dibalik kelezatan dari rasa buah apel ternyata juga mengandung banyak zat-zat yang bermanfaat bagi kesehatan tubuh kita. (c) Untuk itu sangatlah penting untuk mengkonsumsi buah    apel. (d) Buah Apel memiliki kandungan vitamin, mineral dan unsur lain seperti serat, fitokimian, baron, tanin, asam tartar, dan lain sebagainya. (e) Dengan kandungan zat-zat tersebut buah apel memiliki manfaat yang dapat mencegah dan menanggulangi berbagai penyakit. (f) Berikut ini adalah beberapa manfaat buah apel bagi kesehatan yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber  yaitu buah apel dapat mencegah penyakit asma, dapat mengurangi berat badan,  melindungi tulang, menurunkan kadar kolesterol, mencegah kanker hati, kanker paru-paru, kanker payudara, kanker usus, mengontrol diabetes, membersihkan dan menyegarkan mulut.

Bagian-bagian pada wacana di atas saling mempunyai kaitan secara maknawi, kalimat di atas menjelaskan secara rinci zat-zat dan manfaat yang terkandung dalam buah apel. Wacana itu termasuk wacana padu karena hampir setiap kalimat berhubungan padu secara maknawi dengan bagian lain. Selain itu, wacana itu juga kohesif. Ada beberapa kata yang diulang (buah apel pada setiap kalimat). Jadi, wacana itu harus kohesif dan dan koherensif. Bahkan keterpaduanlah (koherensi) yang harus diutamakan.


Pengertian Topik

Topik (bahasa Yunani : topoi) adalah inti utama dari seluruh isi tulisan yang hendak disampaikan atau lebih dikenal dengan dengan topik pembicaraan. Topik adalah hal yang pertama kali ditentukan ketika penulis akan membuat tulisan.  Topik yang masih awal tersebut, selanjutnya dikembangkan dengan membuat cakupan yang lebih sempit atau lebih luas. Terdapat beberapa kriteria untuk sebuah topik yang dikatakan baik, diantaranya adalah topik tersebut harus mencakup keseluruhan isi tulisan, yakni mampu menjawab pertanyaan akan masalah apa yang hendak ditulis. Ciri utama dari topik adalah cakupannya atas suatu permasalahan msih bersifat umum dan belum diuraikan secara lebih mendetail.

Topik biasa terdiri dari satu satu dua kata yang singkat, dan memiliki persamaan serta perbedaan dengan tema karangan. Persamaannya adalah baik topik maupun tema keduanya samasama dapat dijadikan sebagai judul karangan. Sedangkan, perbedaannya ialah topik masih mengandung hal yang umum, sementara tema akan lebih spesifik dan lebih terarah dalam membahas suatu permasalahan.

Cara Membatasi Topik

Cara membatasi sebuah topik dapat dilakukan dengan mempergunakan cara sebagai berikut :
1.    Tetapkanlah topik yang akan digarap dalam kedudukan sentral.
2.    Mengajukan pertanyaan, apakah topik yang berada dalam kedudukan sentral itu masih dapat dirinci lebih lanjut? Bila dapat, tempatkanlah rincian itu sekitar lingkaran topik pertama tadi.
3.    Tetapkanlah dari rincian tadi mana yang akan dipilih.
4.    Mengajukan pertanyaan apakah sektor tadi masih dapat dirinci lebih lanjut atau tidak.

Ciri-ciri topik

1.    Topik harus menarik perhatian si pembaca, sehingga mampu menimbulkan rasa keingintahuan pembaca.
2.    Mencakup keseluruhan isi cerita.

Sumber Topik

Tak jarang seorang penulis bingung saat menentukan apa yang hendak ia tulis, rasanya semua menarik dan banyak yang sudah ditulis orang sebenarnya banyak hal yang dapat dijadikan topik tulisan. Untuk membantu menentukan topik, seperti yang disampaikan Wayne N. Thompson dalam Rakhmat (1999:20), seorang penulis daat menemukan sumber topik dengan cara sebagai berikut.

1.    Pengalaman Pribadi
a.    Perjalanan
b.    Tempat yang pernah dikunjungi
c.    Kelompok Anda
d.    Wawancara dengan tokoh
e.    Kejadian luar biasa
f.     Peristiwa lucu

2.    Hobi dan Keterampilan
a.    Cara melakukan sesuatu
b.    Cara kerja sesuatu

3.    Pengalaman Pekerjaan atau Profesi
a.    Pekerjaan tambahan
b.    Profesi keluarga

4.    Pelajaran Sekolah/Kuliah
a.    Hasil-hasil penelitian
b.    Hal-hal yang perlu diteliti lebih lanjut

5.    Pendapat pribadi
a.    Kritik terhadap buku, film, puisi, pidato, iklan, siaran radio /televisi
b.    Hasil pengamatan pribadi

6.    PeristiwaHangat dan Pembicaraan publik
a.    Berita halaman muka surat kabar
b.     Topik tajuk rencana
c.    Artikel
d.    Materi kuliah
e.    Penemuan mutakhir

7.    Masalah Abadi
a.    Agama
b.    Pendidikan
c.    Sosial dan masyarakat
d.    Problem pribadi

8.    Kilasan Biografi
a.    Orang-orang terkenal
b.    Orang-orang berjasa

9.    Kejadian khusus
a.    Perayaan atau peringatan
b.    Peristiwa yang eratkaitannya dengan perayaan

10. Minat Khalayak
a.    Pekerjaan
b.    Hobi
c.    Rumah tangga
d.    Pengembangan diri
e.    Kesehatan dan penampilan
f.     Tambahan ilmu
g.    Minat khusus

Pembatasan Topik

Topik adalah segala yang ingin dibahas. Ini berarti, penulis sudah memilih apa yang akan menjadi pokok pembicaraan dalam tulisan tersebut. Menurut Sabarti Akhadiah (1994: 211), ada lima hal yang perlu diperhatikan dalam memilih topik:
1. ada manfaatnya untuk perkembangan ilmu atau profesi
2. cukup menarik untuk dibahas
3. dikenal dengan baik
4. bahannya mudah diperoleh
5. tidak terlalu luas dan tidak terlalu sempit

Keraf (1979: 113) merumuskan kiat pembatasan topik adalah dengan langkah sebagai berikut: Pertama, tetapkan topik yang ingin dibahas dalam suatu kedudukan sentral. Kedua, ajukanlah pertanyaan, apakah topik yang berada dalam kedudukan sentral itu masih dapat diperinci lebih lanjut atau tidak. Bila dapat, tempatkanlah perincian itu di sekitar lingkaran topik pertama tadi. Ketiga, tetapkanlah yang mana dari perincian tadi yang akan dipilih. Keempat, ajukanlah pertanyaan apakah sektor tadi masih perlu diperinci lebih lanjut atau tidak. Demikian dilakukan berulang sampai diperoleh topik yang sangat khusus.


Pengertian Tema

Tema bisa diartikan dar dua sudut pandang, yaitu tema yang dilihat setelah karya selesai dibaca dan tema yang ada sebelum karya dibuat. Pengertian tema yang dilihat setelah karya selesai dibaca merupakan sebuah amanat atau pesan yang ingin disampaikan oleh penulis. Lain halnya dengan pengertian tema yang ada sebelum karya dibuat. Tema yang dimaksud adalah suatu perumusan dari topik yang dibuat menjadi sebuah landasan pembicaraan dan tujuan yang akan dicapai.

Tema merupakan suatu gagasan pokok atau ide pikiran dalam membuat suatu tulisan. Di setiap tulisan pastilah mempunyai sebuah tema, karena dalam sebuah penulisan dianjurkan harus memikirkan tema apa yang akan dibuat. Dalam menulis cerpen,puisi,novel,karya tulis, dan berbagai macam jenis tulisan haruslah memiliki sebuah tema. Jadi jika diandaikan seperti sebuah rumah, tema adalah atapnya. Tema juga hal yang paling utama dilihat oleh para pembaca sebuah tulisan.

Perhatikan contoh dibawah ini.

Topik: Belajar mengemukakan pendapat secara efektif.
                          Tujuan:Menjelaskan dan memahami bagaimana cara mengeluarkan pendapat secara lisan,tertulis, logis, dan sistematis dalam bahasa yang baik secara efektif dan efisien.

Perumusan tema hendaknya memperhatikan hal-hal berikut :
1.    Kejelasan,tema hendaknya dirumuskan dengan kalimat yang jelas,tidak berbelit-belit.
2.    Kesatuan tema yang baik adalah tema yang memiliki satu gagasan sentral.Sentralisasi gagasan ditandai oleh jumlah masalah pokok yang hendak digarap penulis.
3.    Keaslian (originalitas), hal ini penting untuk menciptakan kesegaran dan daya tarik karangan.

Ciri-ciri tema:

1.    Dalam novel dan cerpen, tema biasanya dapat dilihat melalui persoalan yang dikemukakan.
2.    Tema juga dapat dilihat melalui cara-cara watak itu bertentangan satu sama lain, bagaimana cerita diselesaikan.
3.    Tema dapat dikesan melalui peristiwa, kisah, suasana dan unsur lain seperti nilai kemanusiaan yang terdapat dalam cerita, plot cerita, perwatakan watak-watak dalam sebuah cerita.

Syarat Tema yang Baik

1.  Tema menarik perhatian penulis.
Tema yang menarik perhatian penulis akan memungkinkan penulis berusaha terus- menerus mencari data untuk memecahakan masalah-masalah yang dihadapi, penulis akan didorong terus-menerus agar dapat menyelesaikan karya tulis itu sebaik-baiknya.

2.    Tema dikenal/diketahui dengan baik.
Maksudnya bahwa sekurang-kurangnya prinsip-prinsip ilmiah diketahui oleh penulis. Berdasarkan prinsip ilmiah yang diketahuinya, penulis akan berusaha sekuat tenaga mencari data melalui penelitian, observasi, wawancara, dan sebagainya sehingga pengetahuannya mengenai masalah itu bertambah dalam. Dalam keadaan demikian, disertai pengetahuan teknis ilmiah dan teori ilmiah yang dikuasainya sebagai latar belakang masalah tadi, maka ia sanggup menguraikan tema itu sebaik-baiknya.

3.    Bahan-bahannya dapat diperoleh.
Sebuh tema yang baik harus dapat dipikirkan apakah bahannya cukup tersedia di sekitar kita atau tidak. Bila cukup tersedia, hal ini memungkinkan penulis untuk dapat memperolehnya kemudian mempelajari dan menguasai sepenuhnya.

4.    Tema dibatasi ruang lingkupnya.
Tema yang terlampau umum dan luas yang mungkin belum cukup kemampuannya untuk menggarapnya akan lebih bijaksana kalau dibatasi ruang lingkupnya.



Puisi Sudut Kelas
suatu yang tak terbayangkan
dalam renungan sepi dan kusam
terhinggapi lorong ruang tak bertuan
dinding yang bisu
kursi dan meja yang lesu
sepi menanti guru
gaduh . .
Namun jiwa tetap layu
di sudut kelas bercat biru
lamunan kadang melayang
kadang hinggap dalam fikiran
namun sepi waktu
meninggalku di sudut kelas ini
tanpa sahabat
tanpa kawan
melawan waktu hingga bel berbunyi

No comments:

Post a Comment

MAKALAH DAN RPP MODEL PEMBELAJARAN PICTURE AND PICTURE

“PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN PICTURE AND PICTURE UNTUK MENINGKATKAN PEMAHAMAN KONSEP PESERTA DIDIK PADA TEMA PERIS...