MAKALAH
Disusun guna memenuhi salah satu
tugas mata kuliah “Pengembangan Pembelajaran IPA SD”
Dosen pengampu, ARFILIA WIJAYANTI, S. Pd., M.Pd.
Disusun Oleh:
RYAN HADI PURNOMO 13120137
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI SEMARANG
2014/2015
A. Latar
Belakang
Sistem pembelajaran
konvensional hanya menekan pada transfer of knowledge yang
berimplikasi pada pembelajan di kelas dan buku pelajaran, dengan demikian
sistem hapalan berorientasi dalam pendekatan ini. Sehingga siswa yang belajar
hanya mengenal teori dan jauh dari realitas yang di ajarkan.
Berdasarkan pengalaman
di atas maka berbagai macam model pembelajaran di terapkan oleh para ahli guna
membuat siswa secara langsung mengenal dunia yang mereka pelajari. Dengan
demikian lahirlah apa yang kita kenal saat ini dengan pembelajaran kontekstual
atau Contextual Teaching and Learning (CTL) yang berakar pada
pendekatan konstruktivisme.
Contextual Teaching and
Learning (CTL) adalah suatu pendekatan pembelajaran
yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat
menemukan materi yang dipelajari dan menghubungkannya dengan situasi kehidupan
nyata sehingga mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan
mereka.
Dari konsep tersebut,
minimal tiga hal yang terkandung di dalamnya. Pertama, CTL menekankan
kepada proses keterlibatan siswa untuk menemukan materi, artinya proses belajar
diorientasikan pada proses pengalaman secara langsung. Proses belajar dalam
konteks CTL tidak mengharapkan agar siswa hanya menerima pelajaran, akan tetapi
proses mencari dan menemukan sendiri materi pelajaran
Kedua, CTL mendorong
agar siswa dapat menemukan hubungan antara materi yang dipelajari dengan
situasi kehidupan nyata, artinya siswa dituntut untuk dapat menangkap hubungan
antara pengalaman belajar di sekolah dengan kehidupan nyata. Hal ini sangat
penting sebab dengan dapat mengorelasikan materi yang ditemukan dengan
kehidupan nyata, bukan saja bagi siswa materi itu akan bermakna secara
fungsional akan tetapi materi yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam
memori siswa, sehingga tidak akan mudah dilupakan.
Ketiga, CTL mendorong
siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan, artinya CTL bukan hanya
mengharapkan siswa dapat memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi
bagaimana materi pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan
sehari-hari. Materi pelajaran dalam konteks CTL bukan untuk ditumpuk di otak
dan kemudian dilupakan akan tetapi segala bekal mereka dalam mengarungi
kehidupan nyata.
Dari ketiga kandungan
CTL di atas model pembelajaran ini bertujuan untuk membuat siswa lebih
anteraktif dalam pembelajaran, karena mereka ukan lagi sebagai objek
pembejalajaran melainkan sebagai siswa yang aktif dalam memahami dunianya lewat
proses belajar. Dalam hal ini pungsi guru bukan lagi sebagai pusat informasi
yang di butuhkan oleh siswa melainkan sebagai fasilitator, instruktor dan lain
sebagainya. Dengan demikian jelaslah tujuan dari pembelajaran ini selain
membuat siswa lebih mengenali dunia nyata sekaligus mereka menjadi subjek dalam
proses belajar mengajar yang aktif.
Sedikit penjelasan di atas adalah gambaran mengenai
kandungan dari CTL ini, karenanya sangat perlu untuk lebih memahami hakikat
dari model pembelajaran ini, baik berupa konsep dasar, konten yang terkandung
di dalamnya serta bagaimana pengaplikasian dari model pembelajaran ini.
B. Rumusan
Masalah
Berdasaekan latar belakang di atas maka rumusan
masalah yang dapat di tarik adalah sebagai berikut:
·
Bagaimanakah konsep dasar Contextual
Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran di sekolah?
·
Bagaimanakah pengaplikasian model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam
pembelajaran di sekolah?
·
Bagaimanakah model pembelajaran Contextual
Teaching and Learning (CTL) mampu membuat suasana yang interaktif
dalam proses pembelajar
BAB
I
PEMBAHASAN
A. Pembelajaran
Kontekstual
Sesuai dengan filsafat
yang mendasarinya bahwa pengetahuan terbentuk karena peran aktif subjek, maka
dipandang dari sudut psikologis, CTL berpijak pada aliran psikologis kognitif.
Menurut aliran ini proses belajar terjadi karena pemahaman individu akan
lingkungan. Belajar bukanlah peristiwa mekanis seperti keterkaitan Stimulus dan
Respons. Belajar tidak sesederhana itu. Belajar melibatkan proses mental yang
tidak tampak seperti emosi, minat, motivasi dan kemampuan atau pengalaman. Apa
yang tampak, pada dasarnya adalah wujud dari adanya dorongan yang berkembang
dalam diri seseorang. Sebagai peristiwa mental perilaku manusia tidak
semata-mata merupakan gerakan fisik saja, akan tetapi yang lebih penting adalah
adanya faktor pendorong yang ada dibelakang gerakan fisik itu. Mengapa
demikian? Sebab manusia selamanya memiliki kebutuhan yang melekat dalam
dirinya. Kebutuhan itulah yang mendorong manusia untuk berperilaku. Dari asumsi
dan latar belakang yang mendasarinya, maka terdapat beberapa hal yang harus
dipahami tentang belajar dalam konteks CTL menurut Sanjaya (2005:114) antara
lain:
Ø Belajar
bukanlah menghafal, akan tetapi proses mengonstruksi pengetahuan sesuai dengan
pengalaman yang mereka miliki. Oleh karena itulah, semakin banyak pengalaman
maka akan semakin banyak pula pengetahuan yang mereka peroleh.
Ø Belajar
bukan sekadar mengumpulkan fakta yang lepas-lepas. Pengetahuan itu pada
dasarnya merupakan organisasi dari semua yang dialami, sehingga dengan
pengetahuan yang dimiliki akan berpengaruh terhadap pola-pola perilaku manusia,
seperti pola berpikir, pola bertindak, kemampuan memecahkan persoalan termasuk
penampilan atau performance seseorang. Semakin pengetahuan seseorang luas dan
mendalam, maka akan semakin efektif dalam berpikir.
Ø Belajar
adalah proses pemecahan masalah, sebab dengan memecahkan masalah anak akan
berkembang secara utuh yang bukan hanya perkembangan intektual akan tetapi juga
mental dan emosi. Belajar secara kontekstual adalah belajar bagaimana anak
menghadapi persoalan.
Ø Belajar
adalah proses pengalaman sendiri yang berkembang secara bertahap dari sederhana
menuju yang kompleks. Oleh karena itu belajar tidak dapat sekaligus, akan
tetapi sesuai dengan irama kemampuan siswa.
Belajar pada hakikatnya
adalah menagkap pengetahuan dari kenyataan. Oleh karena itu, pengetahuan yang
diperoleh adalah pengetahuan yang memiliki makna untuk kehidupan anak (Real
World Learning)’ Selanjutnya Sanjaya (2005:115) memberikan penjelasan perbedaan
CTL dengan pembelajaran konvensional, antara lain:
1. CTL
menempatkan siswa sebagai subjek belajar, artinya siswa perperan aktif dalam
setiap proses pembelajaran dengan cara menemukan dan menggali sendiri materi
pelajaran. Sedangkan dalam pembelajaran konvensional siswa ditempatkan sebagai
objek belajar yang berperan sebagai penerima informasi secara pasif.
2. Dalam
pembelajaran CTL siswa belajar melalui kegiatan kelompok, seperti kerja
kelompok, berdiskusi, saling menerima, dan memberi. Sedangkan, dalam
pembelajaran konvensional siswa lebih bnayak belajar secara individual dengan
menerima, mencatat, dan menghafal materi pelajaran.
3. Dalam
CTL pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata secara riil; sedangkan dalam
pembelajaran konvensional pembelajaran bersifat teoretis dan abstrak.
4. Dalam
CTL, kemampuan didasarkan atas pengalaman, sedangkan dalam pembelajaran
konvensional kemampuan diperoleh melalui latihan-latihan.
5. Tujuan
akhir dari proses pembelajaran melalui CTL adalah kepuasan diri; sedangkan
dalam pembelajaran konvensional tujuan akhir adalah nilai dan angka.
6. Dalam
CTL, tindakan atau perilaku dibangun atas kesadaran diri sendiri, misalnya
individu tidak melakukan perilaku tertentu karena ia menyadari bahwa perilaku
itu merugikan dan tidak bermanfaat; sedangkan dalam pembelajaran konvensional
tindakan atau perilaku individu didasarkan oleh faktor dari luar dirinya,
misalnya individu tidak melakukan sesuatu disebabkan takut hukuman, atau
sakadar untuk memperoleh angka atau nilai dari guru.
7. Dalam
CTL, pengetahuan yang dimiliki setiap individu selalu berkembang sesuai dengan
pengalaman yang dialaminya, oleh sebab itu setiap siswa bisa terjadi perbedaan
dalam memaknai hakikat pengetahuan yang dimilikinya. Dalam pembelajaran
konvensional, hal ini tidak mungkin terjadi. Kebenaran yang dimiliki bersifat
absolut dan final, oleh karena pengetahuan dikonstruksi oleh orang lain.
8. Dalam
pembelajaran CTL, siswa bertanggung jawab dalam memonitor dan mengembangkan
pembelajaran mereka masing-masing; sedangkan dalam pembelajaran konvensional
guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran.
9. Dalam
pembelajaran CTL, pembelajaran bisa terjadi di mana saja dalam konteks dan
setting yang berbeda sesuai dengan kebutuhan; sedangkan dalam pembelajaran
konvensional pembelajaran hanya terjadi di dalam kelas.
10. Oleh
karena tujuan yang ingin dicapai adalah seluruh aspek perkembangan siswa, maka
dalam CTL keberhasilan pembelajaran diukur dengan berbagai cara misalnya dengan
evaluasi proses, hasil karya siswa, penampilan, rekaman, observasi, wawancara,
dan lain sebagainya; sedangkan dalam pembelajaran konvensional keberhasilan
pembelajaran biasanya hanya diukur dari tes.
Berdasarkan perbedaan
pokok tersebut di atas, bahwa CTL memang memiliki karakteristik tersendiri baik
dilihat dari asumsi maupun proses pelaksanaan dan pengelolaannya. Dalam proses
pembelajaran kontekstual, setiap guru perlu memahami tipe belajar dalam dunia
siswa, artinya guru perlu menyesuaikan gaya mengajar terhadap gaya belajar
siswa. Dalam proses pembelajaran konvensional hal ini sering terlupakan,
sehingga proses pembelajaran tidak ubahnya sebagai proses pemaksaan kehendak,
yang menurut Paulo Freire (Sanjaya, 2005:116-117) sebagai sistem penindasan.
Sehubungan dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru manakala menggunakan pendekatan CTL yakni:
Sehubungan dengan hal itu, terdapat beberapa hal yang harus diperhatikan bagi setiap guru manakala menggunakan pendekatan CTL yakni:
a. Siswa
dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai individu yang sedang
berkembang. Kemampuan belajar seseorang akan dipengaruhi oleh tingkat
perkembangan dan keleluasan pengalaman yang dimilikinya. Anak bukanlah orang
dewasa dalam bentuk kecil, melainkan organisme yang sedang berada dalam
tahap-tahap perkembangan. Kemampuan belajar akan sangat ditentukan oleh tingkat
perkembangan dan pengalaman mereka. Dengan demikian peran guru bukanlah sebagai
instruktur atau ‘’penguasa’’ yang memaksakan kehendak, melainkan guru adalah
pembimbing siswa agar mereka dapat belajar sesuai dengan tahap perkembangannya.
b. Setiap
anak memiliki kecenderungan untuk belajar hal-hal yang baru dan memecahkan
setiap persoalan yang menantang. Dengan demikian guru berperan dalam memilih
bahan-bahan belajar yang dianggap penting untuk dipelajari oleh siswa.
c. Belajar
bagi siswa adalah proses mencari keterkaitan atau keterhubungan antara hal-hal
yang baru dengan hal-hal yang sudah diketahui. Dengan demikian peran guru
adalah membantu agar setiap siswa mempu menemukan keterkaitan antara pengalaman
baru dengan pengalaman sebelumnya.
d. Belajar
bagi anak adalah proses penyempurnaan skema yang telah ada (asimilasi) atau
proses pembentukan skema baru (akomodasi), dengan demikian tugas guru adalah
memfasilitasi (mempermudah) agar anak mampu melakukan proses asimilasi dan
proses akomodasi.
Sesuai dengan asumsi
yang mendasarinya, bahwa pengetahuan itu diperoleh anak bukan dari informasi
yang diberikan oleh orang lain temasuk guru, akan tetapi dari proses penemukan
dan mengontruksinya sendiri, maka guru harus menghindari mengajar sebagai
proses penyampaian informasi. Guru perlu memandang siswa sebagai subjek belajar
dengan segala keunikannya. Siswa adalah organisme aktif yang memiliki potensi
untuk membangun pengetahuannya sendiri. Kalaupun guru memberikan informasi
kepada siswa, guru harus memberi kesempatan untuk menggali informasi itu agar
lebih bermakna untuk kehidupan mereka.
CTL sebagai suatu
pendekatan pembelajaran memiliki 7 (tujuh) asas. Asas-asas ini yang melandasi
pelaksanaan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan CTL. Komponen
tersebut antara lain konstruktivisme, inkuiri, bertanya (questioning), masyarakat
belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection),
penilaian nyata (authentic assessment). Konstruktivisme adalah proses membangun
atau menyusun pengetahuan baru dalam struktur kognitif siswa berdasarkan
pengalaman. Menurut konstruktivisme, pengetahuan itu memang berasal dari luar
akan tetapi dikonstruksi oleh dan dari dalam diri seseorang. Oleh sebab itu
pengetahuan terbentuk oleh dua faktor penting, yaitu objek yang menjadi bahan
pengamatan dan kemampuan subjek untuk menginterpretasi objek tersebut. Kedua
faktor itu sama pentingnya. Dengan demikian pengetahuan itu tidak bersifat
statis akan tetapi bersifat dinamis, tergantung individu yang melihat dan
mengonstruksinya. Piaget menyatakan hakikat pengetahuan sebagai berikut:
a. Pengetahuan
bukanlah merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu
merupakan gambaran dunia kenyataan belaka, akan tetapi selalu merupakan
konstruksi kenyataan melalui kegiatan subjek.
b. Subjek
membentuk skema kognitif, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk
pengetahuan.
c. Pengetahuan
dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk
pengetahuan bila konsep itu berlaku dalam berhadapan dengan
pengalaman-pengalaman seseorang.
Pembelajaran melalui CTL
pada dasarnya mendorong agar siswa dapat mengonstruksi pengetahuan melalui
proses pengamatan dan pengalaman. Asas kedua dalam pembelajaran CTL adalah
inkuiri. Artinya, proses pembelajaran didasarkan pada pencarian dan penemuan
melalui proses berpikir secara sistematis. Pengetahuan bukanlah sejumlah fakta
hasil dari mengingat, akan tetapi hasil dari proses menemukan sendiri. Dengan
demikian dalam proses perencanaan, guru bukanlah mempersiapkan materi yang
harus dihafal, akan tetapi merancang pembelajaran yang memungkinkan siswa dapat
menemukan sendiri materi yang harus dipahaminya. Belajar pada dasarnya
merupakan proses mental seseorang yang tidak terjadi secara mekanis. Melalui
proses mental itulah diharapkan siswa berkembang secara utuh baik intektual, mental
emosional maupun pribadinya.
Apakah inkuiri hanya
bias dilakukan untuk mata pelajaran tertentu saja? Tentu tidak. Berbagi topik
dalam setiap mata pelajaran dapat dilakukan melalui proses inkuiri. Secara umum
proses ikuiri dapat dilakukan melalui beberapa langkah yaitu: merumuskan
masalah, mengajukan hipotesis, mengumpulakn data, menguji hipotesis berdasarkan
data yang ditemukan dan membuat kesimpulan
Penerapan asas ini
dalam pembelajaran CTL, dimulai dari adanya kesadaran siswa akan masalah yang
jelas yang ingin dipecahkan. Dengan demikian siswa harus didorong untuk
menemukan masalah. Apabila masalah telah dipahami dengan batasan-batasan yang
jelas, selanjutnya siswa dapat mengajukan hipotesis atau jawaban sementara
sesuai dengan rumusan masalah yang diajukan. Hipotesis itulah yang akan
menuntun siswa untuk melakukan observasi dalam rangka mengumpulkan data.
Manakala data telah terkumpul selanjutnya siswa dituntun untuk mengui hipotesis
sebagai dasar dalam merumuskan kesimpulan.
Ketiga, bertanya (questioning).
Belajar pada hakikatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan. Bertanya dapat
dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap individu; sedangkan
menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan seseorang dalam berfikir. Dalam
proses pembelajaran melalui CTL, guru tidak menyampaikan informasi begitu saja,
akan tetapi memancing agar siswa dapat menemukan sendiri. Oleh sebab itu peran
bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan guru dapat membimbing dan
mengarahkan siswa untuk menemukan setiap materi yang dipelajarinya.
Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk:
Dalam suatu pembelajaran yang produktif kegiatan bertanya akan sangat berguna untuk:
(1) menggali informasi
tentang kemampuan siswa dalam penguasaan materi pelajaran;
(2) membangkitkan
motivasi siswa untuk belajar;
(3) merangsang
keingintahuan siswa terhadap sesuatu;
(4) memfokuskan siswa
pada sesuatu yang diinginkan; dan
(5) membimbing siswa
untuk menemukan atau menyimpulkan sesuatu.
Keempat, masyarakat
belajar (learning community). Dalam CTL, penerapan asas masyarakat belajar
dapat dialukan dengan menerapkan pembelajaran melalui kelompok belajar. Siswa
dibagi dalam kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik dilihat dari
kemampuan dan kecepatan belajarnya, maupun dilihat dari bakat dan minatnya.
Biarkan dalam kelompoknya mereka saling membelajarkan; yang cepat belajar
didorong untuk membantu yang lambat belajar, yang memiliki kemampuan tertentu
didorong untuk menularkannya pada yang lain.
Kelima, pemodelan
(modeling). Maksudnya adalah, proses pembelajaran dengan menggunakan sesuatu
contoh yang dapat ditiru oleh setiap siswa. Misalnya guru memberikan contoh
bagaimana cara mengoperasionalkan sebuah alat, atau bagaimana cara melafalkan
sebuah kalimat asing, guru olahraga memberikan contoh bagaimana cara melempar
bola, guru kesenian memberi contoh bagaimana cara memainkan alat musik, guru
biologi memberikan contoh bagaimana cara mengggunakan thermometer dan lain
sebagainya.
Proses modelling, tidak
terbatas dari guru saja, akan tetapi dapat juga guru memanfaatkan siswa yang
dianggap memiliki kemampuan. Misalnya siswa yang pernah menjadi juara dalam
membaca puisi dapat disuruh untuk menampilkan kebolehannya di depan
teman-temannya, dengan demikian siswa dapat dianggap sebagai model. Modeling
merupakan asas yang cukup penting dalam pembelajaran CTL, sebab melalui
modelling siswa dapat terhindar dari pembelajaran yang teoretis-abstrak yang
memungkinkan terjadinya verbalisme.
Keenam, refleksi
(reflection) adalah proses pengendapan pengalaman yang telah dipelajari yang
dilakukan dengan cara mengurutkan kembali kejadian atau peristiwa pembelajaran
yang telah dilaluinya. Melalui proses refleksi, pengalaman belajar itu akan
dimasukkan dalam struktur kognitif siswa yang pada akhirnya akan menjadi bagian
dari pengetahuan yang dimilikinya. Bisa terjadi melalui proses refleksi siswa
akan memperbarui pengetahuan yang telah dibentuknya, atau menambah khazanah
pengetahuannya.
Dalam setiap proses
pembelajaran dengan menggunakan CTL, setiap berakhir proses pembelajaran, guru
memberikan kesempatan kepada siswa untuk ‘’merenung’’ atau mengingat kembali
apa yang telah dipelajarinya. Biarkanlah secara bebas siswa menafsirkan
pengalamannya sendiri, sehingga ia dapat menyimpulkan tentang pengalaman
belajarnya.
Ketujuh, penilaian
nyata (authentic assessment) adalah proses yang dilakukan guru untuk
mengumpulkan informasi tentang perkembangan belajar yang dilakukan siswa.
Penilaian ini diperlukan untuk mengetahui apakah siswa benar-benar belajar atau
tidak; apakah pengalaman belajar siswa memiliki pengaruh yang positif terhadap
perkembangan baik intelektual maupun mental siswa. Penilaian autentik dilakukan
secara terintegrasi dengan proses pembelajaran. Penilaian ini dilakukan secara
terus menerus selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Oleh sebab itu,
tekanannya diarahkan kepada proses belajar bukan kepada hasil belajar.
B. Pembelajaran
Interaktif
Kegiatan belajar
melibatkan beberapa komponen atau unsur yaitu peserta didik, pendidik atau
guru, tujuan pembelajaran, isi pelajaran, metode mengajar yang digunakan, media
pembelajaran yang sesuai untuk digunakan dan evaluasi kemajuan belajar siswa
menggunakan tes yang standar. Semua komponen ini saling berinteraksi dalam
proses pembelajaran yang berakhir pada tujuan pembelajaran. Karena itu kegiatan
pembelajaran merupakan suatu sistem yang integral, dalam suatu sistem
pembelajaran atau sistem instruksional di sekolah. Dilihat dari sudut
institusional sekolah, dalam hal mendukung kelancaran aktivitas pembelajaran, kepala
sekolah memainkan peran cukup penting, karena berkontribusi signifikan terhadap
perolehan suatu sistem belajar. Meskipun setiap guru mempunyai kemampuan
professional yang tinggi dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tetapi tidak
didukung pelayanan institusional yang memadai, tentu saja kegiatan pembelajaran
itu tidak akan maksimal.
Peran kepala sekolah
untuk menyediakan fasilitas pembelajaran, melakukan pembinaan pertumbuhan
jabatan guru, dan dukungan profesionalitas lainnya menjadi suatu kekuatan tersendiri
bagi guru melaksanakan tugas profesionalnya. Setelah guru mendapat dukungan
institusional, hal selanjutnya yang perlu dipersiapkan oleh guru adalah
berkaitan dengan pendekatan belajar yang menjadi otonom profesional keguruan.
Para ahli psikologi belajar dan ahli kependidikan telah banyak menyampaikan
sejumlah teori maupun konsep pendekatan pembelajaran. Pendekatan ini pada
umumnya mengacu pada pendekatan psikologi yang berkaitan dengan kemampuan
peserta didik untuk menangkap ataupun menerima pelajaran dalam kegiatan
pembelajaran. Pendekatan pembelajaran menjadi suatu hal yang amat penting,
karena dilihat dari sudut psikologi setiap anak mempunyai kemampuan yang
berbeda dalam menerima pelajaran, untuk itu diperlukan pendekatan yang sesuai
dengan potensi anak didik.
Pendekatan belajar
(approach to learning) dan strategi atau kiat melaksankan pendekatan serta
metode belajar dalam proses pembelajaran termasuk faktor yang turut menentukan
tingkat keberhasilan belajar siswa. Pendekatan tersebut bertitik tolak pada
aspek psikologis dilihat dari pertumbuhan daan perkembangan anak, kemampuan
intelektual, dan kemampuan lainnya yang mendukung kemampuan belajar. Pendekatan
ini dilakukan sebagai strategi yang dipandang tepat untuk memudahkan siswa
memahami pelajaran dan juga belajar yang menyenangkan.
Pendekatan
pembelajaran tentu tidak kaku harus menggunakan pendekatan tertentu, tetapi
sifatnya lugas dan terencana, artinya memilih pendekatan disesuaikan dengan
kebutuhan materi ajar yang dituangkan dalam perencanaan pembelajaran. Adapun
pendekatan pembelajaran interaktif yang sudah umum dipakai oleh para guru
menurut Sagala (2003:71) antara lain pendekatan konsep dan proses,
deduktif-induktif, ekspositori dan heuristic, dan pendekatan kecerdasan.
Pendekatan konsep
adalah suatu pendekatan pengajaran yang secara langsung menyajikan konsep tanpa
memberi kesempatan kepada siswa untuk menghayati bagaimana konsep itu
diperoleh. Konsep merupakan buah pikiran seseorang atau kelompok orang yang
dinyatakan dalam definisi sehingga melahirkan produk pengetahuan meliputi
prinsip, hukum, dan teori. Konsep diperoleh dari fakta, peristiwa, pengalaman,
melalui generalisasi dan berpikir abstrak, kegunaan konsep untuk menjelaskan
dan meramalkan.
Konsep menunjukkan
suatu hubungan antar konsep yang lebih sederhana sebagai dasar perkiraan atau
jawaban manusia terhadap pertanyaan yang bersifat asasi tentang mengapa suatu
gejala itu bisa terjadi. Konsep merupakan pikiran seseorang atau sekelompok
orang yang dinyatakan dalam definisi sehingga menjadi produk pengetahuan yang
meliputi prinsip, hukum, dan teori. Konsep diperoleh dari fakta, peristiwa,
pengalaman melalui generalisasi, dan berpikir abstrak. Konsep dapat mengalami
perubahan disesuaikan dengan fakta atau pengetahuan baru, sedangkan kegunaan
konsep adalah menjelaskan dan meramalkan. Fravell (1970) menyarankan, bahwa
pemahaman terhadap konsep dapat dibedakan dalah tujuh dimensi yaitu atribut,
struktur, keabstrakan, keinklusifan, generalitas/keumuman, ketepatan dan
kekuatan.
Pendekatan proses
adalah suatu pendekatan pengajaran memberi kesempatan kepada siswa untuk ikut
menghayati proses penemuan atrau penyusunan suatu konsep sebagai suatu
keterampilan proses. Pembelajaran dengan menekankan kepada belajar proses
dilatarbelakangi oleh konsep belajar menurut teori ‘’Naturalisme-Romantis’’ dan
teori ‘’Kognitif Gestalt’’. Naturalisme-Romantis menekankan kepada aktivitas
siswa, sedangkan kognitif Gestalt menekankan pemahaman dan kesatupaduan yang
menyeluruh. Pendekatan proses dalam pembelajaran dikenal pula sebagai
keterampilan proses, guru menciptakan bentuk kegiatan pengajaran yang
bervariasi, agar siswa terlibat dalam berbagai pengalaman. Siswa diminta untuk
merencanakan, melaksanakan, dan menilai sendiri suatu kegiatan. Siswa melakukan
kegiatan percobaan, pengamatan, pengukuran, perhitungan, dan membuat kesimpulan
sendiri.
Dalam pembelajaran
proses ini, siswa tidak hanya belajar dari guru, tetapi juga dari sesama
temannya, dan dari manusia sumber di luar sekolah. Kegiatan yang dapat
dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan proses
adalah:
a.
mengamati gejala yang timbul,
b.
mengklasifikasikan sifat-sfat yang sama,
serupa;
c.
mengukur besaran-besaran yang
bersangkutan;
d.
mencari hubungan antar konsep yang ada;
e.
mengenal adanya suatu masalah,
merumuskan masalah;
f.
memperkirakan penyebab suatu gejala,
merumuskan hipotesa;
g.
meramalkan gejala yang mungkin akan
terjadi;
h.
berlatih menggunakan alat ukur;
i.
melakukan percobaan;
j.
mengumpulkan, menganalisis dan
menafsirkan data;
k.
berkomunikasi; dan
l.
mengenal adanya variabel, mengendalikan
suatu variabel.
Pendekatan Deduktif adalah proses penalaran yang
bermula dari keadaan umum kekeadaan khusus sebagai pendekatan pengajaran yang
bermula dengan menyajikan aturan, prinsip umum diikuti dengan contoh khusus
atau penerapan aturan, prinsip umum itu kedalam keadaan khusus. Langkah-langkah
yang dapat digunakan dalam pendekatan deduktif dalam pembelajaran adalah:
1.
memilih konsep, prinsip, aturan yang
akan disajikan dengan pendekataan deduktif;
2.
menyajikan aturan, prinsip yang bersifat
umum lengkap dengan definisi dan buktinya;
3.
disajikan contoh khusus agar siswa dapat
menyusun hubungan antara keadaan khusus itu dengan aturan, prinsip umum; dan
4.
disajikan bukti untuk menunjang atau
menolak kesimpulan bahwa keadaan khusus itu merupakan gambaran dari keadaan
umum. Sedangkan pendekatan induktif pada awalnya dikemukakan oleh Filosof
Inggris Prancis Bacon (1561) yang menghendaki agar penarikan kesimpulan
didasarkan atas fakta yang konkrit sebanyak mungkin, sistem isi dipandang
sebagai sistem berpikir yang paling baik pada abad pertengahan yaitu cara
induktif disebut juga sebagai dogmatif artinya bersifat mempercayai begitu saja
tanpa diteliti secara rasional.
Berpikir
induktif ialah suatu proses dalam berpikir yang berlangsung dari khusus menuju
ke yang umum. Orang mencari ciri atau sifat tertentu dari berbagai fenomena,
kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri atau sifat-sifat itu terdapat pada
semua jenis fenomena. Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan
induktif adalah:
a. memilih
konsep, prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan induktif;
b. menyajikan
contoh khusus konsep, prinsip atau aturan itu yang memungkinkan siswa
memperkirakan (hipotesis) sifat umum yang terkandung dalam contoh itu;
c. disajikan
bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang atau menyangkal perkiraan
itu; dan
d. disusun
pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti berdasarkan langkah-langkah
yang terdahulu. Pada tingkat ini menurut Syamsudin Makmun (2003:228) siswa
belajar mengadakan kombinasi dari berbagai konsep atau pengertian dengan
mengoperasikan kaidah logika formal (induktif, deduktif, analisis, sintesis,
asosiasi, diferensiasi, komparasi dan kausalitas), sehingga siswa dapat membuat
kesimpulan (kongklusi) tertentu yang mungkin selanjutnya dapat dipandang
sebagai ‘rule’ (prinsip, dalil, aturan, hukum, akidah dan sebagainya).
Pendekatan Ekspositori, berpandangan bahwa tingkah laku kelas dan penyebaran
pengetahuan dikontrol dan ditentukan oleh guru/pengajar. Hakekat mengajar
menurut pandangan ini adalah menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siswa. Siswa
dipandang sebagai objek yang menerima apa saja yang diberikan guru. Biasanya
guru menyampaikan informasi mengenai bahan pengajaran dalam bentuk penjelasan
dan penuturan secara lisan, yang dikenal dengan istailah kuliah, ceramah, dan
lecture. Dalam pendekatan ini siswa diharapkan dapat menangkap dan mengingat
informasi yang telah diberikan guru, serta mengungkap kembali apa yang
dimilikinya melalui respons yang ia berikan pada saat diberikan pertanyaan oleh
guru.
Pendekatan Heuristik
adalah merancang pembelajaran dari berbagai aspek dari pembentukan sistem
instruksional mengarah pada pengaktifan peserta didik mencari dan menemukan
sendiri fakta, prinsip, dan konsep yang mereka butuhkan. Pendekatan heuristic
adalah pendekatan pengajaran yang menyajikan sejumlah data dan siswa diminta
untuk membuat kesimpulan menggunakan data tersebut, implementasinya dalam
pengajaran menggunakan metode penemuan data metode inkuiri. Metode penemuan
didasarkan pada anggapan, bahwa materi suatu bidang studi tidak saling lepas,
tetapi ada kaitannya antara materi tersebut. Dengan pendekatan heuristic dapat
mendorong peserta didik bersikap berani untuk berpikir ilmiah dan mengembangkan
berpikir mandiri.
Pendekatan kecerdasan,
guru harus mengetahui kecerdasan siswanya agar dapat menolong kesulitan
belajarnya. Untuk mengetahui kecerdasan para siswanya tentu guru tidak
melakukannya sendiri, untuk hal yang sederhana dapat dilakukan oleh konselor
yang mempunyai latar belakang pendidikan dan keahlian yang memadai. Bagi
sekolah yang berada di perkotaan dan tersedia psikolog, maka dapat dimintakan
bantuan para ahli psikologi tersebut untuk melakukan tes kecerdasan, dengan
demikian hasilnya dapat lebih akurat, dan tindakan belajarpun dapat disesuaikan
dengan kemampuan siswa oleh guru. Munzert, A.W. (1994) mengartikan kecerdasan
sebagai sikap intelektual mencakup kecepatan memberikan jawaban, penyelesaian,
dan kemampuan memecahkan masalah.
Intelegensi dapat
dirumuskan dengan kemampuan untuk melakukan kegiatan dan mencapai prestasi yang
di dalamnya berpikir memainkan peranan utama. Dari tingkah laku seseorang,
pembicaraan, aksi, reaksinya, orang dapat menilainya apakah orang itu cerdas,
cerdik, pintar atau sebaliknya bodoh dan lamban. Walaupun untuk memperoleh informasi
yang lebih dapat dipercaya melalui tes kecerdasan melalui uji psikotes oleh
ahli psikologi. Tingkah laku yang inteligen oleh sejumlah ciri sebagai berikut:
1.tingkah
laku yang siap melakukan perubahan yang perlu terhadap kondisi baru, tidak
kaku;
2.tingkah
laku yang bertujuan;
3.tingkah
laku yang cepat, reaksi yang segera;
4.tingkah
laku yang terorganisir, yakni ada koordinasi yang baik antara kondisi pribadi
dalam lingkungan yang memecahkan persoalan;
5.tingkah
laku yang dikendalikan oleh motivasi yang kuat; dan (6) tingkah laku yang
success oriented.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Berdasarkan beberapa
penjelasan tersebut di atas maka dapat disimpulkan beberapa hal berikut ini:
1. Pembelajaran
kontekstual merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan
antara materi pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata,
sehingga para peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil
belajar dalam kehidupan sehari-hari.. Melalui proses penerapan kompetensi dalam
kehidupan sehari-hari, peserta didik akan merasakan pentingnya belajar, dan
akan memperoleh makna yang mendalam terhadap apa yang dipejarinya.
2. Tugas
guru dalam pembelajaran kontekstual adalah memberikan kemudahan belajar kepada
peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang
memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan,
tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta
didik belajar. Lingkungan yang kondusif sangat penting dan sangat menunjang
pembelajaran kontekstual, dan keberhasilan pembelajaraan secara keseluruhan.
3. Pembelajaran
interaktif, guru harus menyadari bahwa pembelajaran memiliki sifat yang sangat
kompleks karena melibatkan aspek pedagogis, psikologis dan didaktis secara
bersamaan. Caranya guru dengan menggunakan pendekatan pemberian pemahaman
kepada siswa, pemberian informasi dan pendekatan pemecahan terhadap masalah
yang dihadapi oleh siswa.
DAFTAR
PUSTAKA
Dimyati danMudjiono. 1999. Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta: Rineka Cipta.
Dunkin, M.J. dan Biddle, B.J. 1974. The Study of
Teaching. New York: Rinehart and Wsiton Inc.
Mulyasa, E. 2004. Implementasi Kurikulum 2004:
Panduan Pembelajaran KBK. Bandung: Rosda.
Nurdin, Muhamad. 2004. Kiat Menjadi Guru Profesional.
Jogyakarta: Prisma Sophie.
Sagala, Syaiful. 2003. Konsep dan Makna
Pembelajaran: Untuk Membantu Memecahkan Problematika Belajar dan Mengajar.
Bandung: Alfabeta.
Sanjaya, Wina. 2005. Pembelajaran Dalam Implementasi
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bandung: Fajar Interpratama Offset.
Sudjana, D. 2001. Metode dan Teknik Pembelajaran
Partisipatif. Bandung: Falah Production
No comments:
Post a Comment